KREDIT adalah sesuatu yang kini dimiliki oleh hampir setiap orang terlebih sekarang ada begitu banyak lembaga yang memberikan kemudahan dalam memfasilitasinya, kredit dianggap memberi keringanan dan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang memberi semangat untuk dapat bekerja lebih keras lagi karena memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dipenuhi tiap jangka waktu yang ditentukan. Hukum kredit menurut islam tentunya beragam melihat dari sisi syariat dan caranya.
Namun tentunya dalam islam memiliki pandangan dan syariat tersendiri mengenai kredit, yakni apa saja kredit yang diperbolehkan dan bagaimana sistem kredit tersebut dijalankan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi kedua belah pihak mengingat kredit ada begitu banyak seperti hukum kredit rumah KPR dsb. Selengkapnya simak dalam uraian berikut, hukum kredit yang dihalalkan dalam Islam.
BACA JUGA: SMA Ar-Rohmah Putri Pesantren Hidayatullah Malang Raih Akreditasi A
Kredit dalam islam tidak hanya terjadi pada masa modern saja, kredit juga sudah ada sejak jaman terdahulu dan juga dengan berbagai cara yang sama, ada yang dengan syariat islam, ada pula yang dijalankan dengan cara riba, Tentunya kredit ialah hal yang berhubungan dengan jual beli, dimana penjual menjual barang tertentu kepada pembeli dengan sistem pembayaran bertahap dan di dalamnya sudah termasuk keuntungan dari penjual seperti jual beli kredit dalam islam.
Misalnya ialah harga barang yang dijual Rp 2.000.000 dan diperbolehkan untuk membayarnya secara bertahap dengan aturan Rp 200.000 per bulan selama 11 kali sehingga penjual memiliki untung sebanyak Rp 200.000. Kredit yang demikian adalah diperolehkan dalam islam sebab dilakukan dengan akad jual beli serta penjual memang berhak untuk mendapat keuntungan. Jika bekerja tidak mendapat keuntungan tentunya hanya merugi dan tidak ada orang yang ingin melakukannya. Tentunya dalam hukum kredit dalam islam–emas dan barang misalnya, tetap diperbolehkan untuk mencari keuntungan.
Hukum Kredit yang Dihalalkan
Dalam syariat islam ada beberapa syarat kredit tersebut dihalalkan dan diperbolehkan untuk dilakukan, yakni dengan berbagai syarat sesuai syariat islam berikut.
1 Dilakukan dengan Pencatatan yang Jelas
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah : 282). “Rasulullah SAW membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603).
Kredit harus dilakukan dengan pencatatan dan kesepakatan yang jelas serta tidak memberikan keuntungan yang berlebih pada penjual hingga merugikan dan memberatkan pembeli, kredit harus dilakukan dengan bukti misalnya menuliskannya dan mencatat setiap pembayaran yang diberikan serta kekurangan dan tidak diperkenankan untuk menambah untung, misalnya memberi riba jika terlembat membayar dan sebagainya.
Kredit tersebut pun harus dijalankan sebaik mungkin oleh kedua belah pihak, misalnya pembeli harus membayar di waktu yang ditentukan, jika ia mengingkari maka dosa baginya dan jika penjual melebihkan untung di luar kesepakatan atau memaksa membayar sebelum waktunya juga merupakan perbuatan dosa atau seperti bahaya riba dalam islam.
2 Disertai dengan Riba
“Menukarkan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum burr dengan gandum burr, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam adalah termasuk akad riba, kecuali dengan dua syarat: Sama ukurannya dan dilakukan secara tunai (cash). Namun, Jika jenisnya berbeda (dan masih dalam satu kelompok) maka tukarlah sekehendakmu dengan satu syarat, yaitu harus diserahkan secara tunai.” (HR Muslim).
Ibnu ‘Umar mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli hutang dengan hutang.” (HR. Hakim: 2343).
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah: 275).
Tidak diperkenankan kredit yang berhubungan dengan uang sebab jelas bahwa hal itu bukan jual beli, namun riba.
3 Ditentukan Ukuran dan Batas Waktu yang Jelas
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604).
Keadaan mereka yang seperti itu sebenarnya disebabkan karena mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat tersebut juga berlaku untuk jual beli Kredit Angsuran Berjangka. Namun para Ulama’ berselisih pendapat tentang hal ini, karena Rasulullah SAW juga pernah melakukan jual beli dengan cara menunda waktu pembayaran, dijelaskan dalam hadits:
Dari ‘Aisyah Ra : Bahwasanya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai buroh atau gadai.” (H.R Bukhari nomor 2134 ).
Diperbolehkan untuk kredit makanan atau barang dengan ukuran dan batas waktu pembayaran yang jelas.
Dalam kisah Rasul, beliau membeli makanan dengan menukarkan dengan baju besi, hal ini juga diperbolehkan dalam islam sebab kedua barang bernilai sama dan telah terjadi kesepakatan satu sama lain. Tentunya dalam kredit pun demikian, bagi penjual dan pembeli sama sama memberikan keuntungan serta dilakukan dalam tempo waktu atau batas waktu yang jelas dan kedua belah pihak wajib untuk menepati.
4 Tidak Boleh ada Penambahan Harga Jika Pembayaran Tertunda
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah SAW membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.
Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).
Penambahan harga tidak boleh dilakukan ketika terjadi kelambatan atau permasalahan dalam proses pembayaran, sebab hal ini berhubungan dengan riba, jika terjadi hal demikian, wajib untuk dibuat akad perjanjian jual beli yang baru dan tidak boleh dilakukan dengan kesengajaan seperti sengaja mengulur waktu pembayaran padahal ia mampu.
5 Tidak Boleh Diperjualbelikan seperti Rentenir
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih). “Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku.
Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah SAW melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (HR Abu dawud dan Al Hakim).
Dalam kredit, tidak boleh dilakukan dengan niat dijual untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi, misalnya seseorang membeli barang dengan kredit Rp 200.000 per bulan dan ia sengaja menjual kepada orang lain dengan harga yang lebih mahal angsuran per bulannya padahal benda tersebut sama, hal itu sama saja dengan rentenir sebab merugikan dan lebih banyak mementingkan keuntungan daripada niat membantu orang lain.
BACA JUGA: Hukum Kredit Kendaraan Melalui Leasing
6 Jenis Keuntungan yang Halal dari Sistem Kredit
Keuntungan yang didapat dari selisih harga beli dengan harga jual itu 100% halal. Itulah yang disebut dengan jual-beli yang Allah telah halalkan di dalam Al-Quran. Pada dasarnya, kredit dilakukan untuk memberi keringanan pada orang lain yang belum mampu membeli secara tunai sekaligus sebagai jalan untuk mendapatkan keuntungan yang halal dari barang dagangan.
Kredit yang dijual sebagaimana kesepatakan yang dibuat adalah kredit yang memiliki keuntungan halal bagi penjual, begitu pula sebaliknya, jika kredit diberikan dengan keringanan seusai kesepakatan namun pihak pembeli mengingkari perjanjian dengan sengaja mengulur waktu untuk pembayaran, maka barang yang dibeli juga akan berkurang keberkahannya kecuali jika karena ia kesulitan dan dalam hal ini dibuat akad yang baru sesuai kesepakatan. []
SUMBER: DALAMISLAM