Oleh: Dede Setyaningrum
dedesetyaningrum@mhs.pelitabangsa.ac.id
DENGAN semakin majunya teknologi khusunya teknologi persebaran informasi membuat beberapa kebiasaan umat manusia berubah, sebagai salah satu contoh dalam hal ini adalah kegiatan jual beli.
Saat ini umat manusia memasuki era yang dinamakan era digital, sehingga jual beli pun dilakukan secara digital. Berdasarkan data dari Departemen Penelitian Statista (2021), diperkirakan jumlah pengguna e-commerce di Indonesia akan mencapai 178.9 juta pada tahun 2022.
Ini menunjukkan bahwa permintaan untuk belanja online sedang menjadi trend untuk mencari informasi tentang produk dan layanan yang memenuhi kebutuhan mereka (Cahyani, 2023). Hal ini menunjukkan pentingnya pemasaran Islami melalui media sosial untuk menjangkau khalayak yang luas. Jual beli di era digital memiliki kelebihan yang mumpuni seperti flexibelnya waktu dan tempat transaksi dilakukan.
BACA JUGA:Â Mengenal Lebih Jauh tentang Asuransi Syariah
Akan tetapi bagi pembeli terdapat beberapa kerugian seperti pembeli tidak dapat melihat langsung produk yang akan dibeli hingga kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian barang maupun spesifikasi barang yang dibeli dengan apa yang dipasarkan oleh sang penjual. Hal ini disebabkan berkurangnya pemahaman akan moralitas dalam berdagang dan kurangnya pemahaman akan aturan-aturan pemsaran dalam agama islam.
Pada agama islam terdapat dalil-dalil yang mengatur atau memberikan suatu prinsip bagaimana pemasaran dilakukan dalam agama islam, sehingga dengan pemahaman akan aturan-aturan agama islam dalam pemasaran kejadian penipuan, ketidaksesuaian barang atau spesifikasi dengan apa yang pasarkan sang penjual dapat dikurangi atau dihilangkan dalam transaksi jual beli bahkan pada era digital sekalipun.
Pemasaran islami sudah terjadi dari zaman Rasulullah ï·º. Dalam pemasaran islami, bisnis yang disertai keikhlasan mengharap ridha Allah SWT, maka bentuk transaksinya InsyaaAllah akan menjadi bentuk ibadah dihadapan Allah SWT. Sebagaimana Rasulullah memasarkan bisnis nya dengan cara yang jujur dan amanah hingga akhirnya berhasil dalam melakukan bisnis.
Menurut perspektif islami, pemasaran islami merupakan sebuah disiplin bisnis strategi yang mengarahkan seluruh aktivitas yakni seluruh proses, tawar menawar, pertukaran nilai harga dari produsen, perusahaan atau perorangan sesuai dengan ajaran islam serta prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam melakukan pemasaran islami, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai etika dalam pemasaran islami, yaitu :
1. Berlaku adil dalam berbisnis. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S An-Nahl : 90
2. Melayani nasabah dengan perilaku yang lemah lembut. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Isra’ : 28
3. Jujur dan terpercaya. Ketika seorang tenaga pemasaran memasarkan barangnya tidak boleh dilebih-lebihkan atau memasarkan barangnya dengan bagus padahal kenyataannya tidak demikian sehingga mendzolimi konsumen. Sebagaimaan firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah : 263
4. Tidak suka berburuk sangka dan tidak suka menjelek-jelekkan barang dagangan atau milik orang lain. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Hujarat : 12
5. “Sesungguhnya Allah jika mengharamkan atas suatu kaum memakan sesuatu, maka diharamkan pula hasil penjualannya.” (HR Abu Daud dan Ahmad).
Pemasaran Islami masa kini telah menjadi topik yang semakin menarik perhatian di Indonesia. Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, strategi pemasaran yang berdasarkan nilai-nilai Islami dapat menjadi pembeda yang kuat untuk memenangkan pasar.
Pemasaran Islami juga telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Dengan berkembangnya teknologi di era digital, pemasaran Islami menjadi lebih canggih dan efektif karena hadirnya media sosial. Media sosial telah menjadi alat yang sangat berguna untuk menyebarkan pesan Islam dengan cepat dan luas.
Dari dalil-dalil tersebut didapatkan prinsip-prinsip pemsaran dalam agama islam, yaitu yang pertama adalah berlaku adil dalam bisnis.
Agama islam adalah agama yang menganut utama keadilan, sehingga dalam transaksi jual beli pun keadilan harus ditegakan dengan cara antara pembeli dan penjual mendapatkan harga yang cocok di kedua pihak, sehingga mendapat kepuasan antara penjual dan pembeli akan harga tersebut. Kecocokan harga harus terjadi tanpa adanya intervensi atau ancama.
Prinsip yang kedua yaitu tentang pelayanan. Islam adalah agama yang lembut, sejuk dan damai, begitu juga dalam hal transaksi jual beli. Dalam pemasaran sikap penjual terhadap pembeli menjadi faktor apakah transaksi itu akan terjadi, tidak jarang pembeli mengurungkan niat untuk membeli produk karena pelayanan yang tidak mengenakan.
Pada Q.S Al-Isra’ : 28, dijelaskan bahwa umat islam harus memiliki sikap yang lembut pada sesama. Dalam pemsaran sikap lembut dalam pelayanan kepada konsumen bisa membuat konsumen menjadi langganan, sehingga sikap lembut menjadi aspek yang penting dalam pemasaran.
Prinsip yang ketiga yaitu jujur dan terpecaya sesuai perintah pada Q.S Al-Baqarah : 263. Ketidaksesuaian barang dan spesifikasi barang dengan apa yang dipasarkan penjual merupakan akibat dari mengingkari sifat jujur dan terpecaya.
Penjual tidak boleh melebih-lebihkan kualitas produk dalam pemasarannya, yang membuat konsumen tertipu. Hal ini merupakan suatu sifat yang sangat dzhalim pada konsumen. Selain konsumen yang mengalami kerugian juga dari mengingkari prinsip jujur dan terpecaya yaitu sang penjual itu sendiri.
Dengan tertipu sang pembeli itu akan membuat bisnis penjual tidak akan berkembang, pembeli tidak akan menjadi langganan dan akan menyebarkan infromasi bahwa bisnis tersebut adalah penipuan, sehingga bisnis itu akan hancur dengan sendirinya.
Prinsip yang keempat yaitu dilarang suudzon dan menjelek-jelekan barang dagangan orang lain atau saingan. Dalam agama islam perdagangan harus fair, sehingga tidak ada yang dirugikan. Persaingan dagang harus dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas barang yang dijual, memperbaiki layanan terhadap pembeli dan penggunaan harga yang kompetitif.
BACA JUGA:Â Digitalisasi Ummat
Suudzon dan menjelek-jelekan barang akan membawa fitnah dan membuat permusuhan antara para pedagang.
Prinsip yang kelima yaitu barang atau jasa yang diperdagangkan adalah yang halal. Hal ini diperintahkan pada hadist (HR Abu Daud dan Ahmad). Hal ini untuk menghindari kemudharatan lain akibat barang diperdagangkan tersebut. Pemerintah indonesia telah menerapkan wajib sertifikasi halal bagi seluruh produk yang beredar di Indonesia.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Dari regulasi tersebut terbagilah beberapa kategori produk beserta masa penahapannya. Kategori produk yang wajib sertifikasi halal adalah kategori makanan dan minuman, tepatnya pada 17 Oktober 2024 sudah wajib sertifikasi halal. Selain itu dengan tersertifikasi halal oleh MUI dapat dipastikan produk-produk dari brand tersebut tidak mengandung unsur haram, seperti khamr, terbuat dari daging babi atau anjing, maupun benda najis. []
Daftar Pustaka
Cahyani, A. Y., Natsir, M., & Anam, S. (2023). Determinan permintaan belanja online generasi Y dan Z di Kota Kendari. Majalah Ekonomi dan Bisnis, 19*(1)*, 41. ISSN: 2580-2863.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Maldina, E. Y. (2017). Strategi Pemasaran Islami Dalam Meningkatkan Penjualan Pada Butik Calista. I-Economic Vol. 3 No. 1.
Prihatta, H. S. (2018). Pemasaran Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jurnal bisnis hukum islam, Vol. 8 No. 1, Juni 2018. p-ISSN: 2088-4869/e-ISSN: 2597-4351.
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke:Â islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.