KEMERDEKAAN Republik Indonesia tidak bisa lepas dari peran para ulama Tanah Air yang ikut berjuang membebaskan negeri. Jasa mereka dalam meraih kemerdekaan sangatlah besar. Namun sayang, generasi saat ini seakan tidak tahu siapa saja sosok ulama pejuang kemerdekaan RI.
Padahal, para ulama pejuang kemerdekaan rela mengorbankan nyawa dan harta demi tegaknya Republik Indonesia tercinta. Dan bangsa yang besar seharusnya pantang melupakan sejarah.
Lalu siapa saja ulama ulama pejuang kemerdekaan Republik Indonesia? Berikut ulasannya:
Kiai Iskandar Sulaiman
Ulama pejuang kemerdekaan pertama yang akan kita bahas adalah Kiai Iskandar Sulaiman. Terlahir dari keturunan bangsawan yang kaya raya, Kiai Iskandar Sulaiman juga dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan, dan tidak sombong.
Selepas menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng, Kiai Iskandar Sulaiman menggunakan hartanya untuk memakmurkan masyarakat sekitar.
Beliau juga memperkenalkan NU kepada masyarakat. Dan turut mendirikan beberapa unit pendidikan seperti madrasah dan kegiatan penunjang lainnya.
BACA JUGA: Ikhtilaf Ulama Tentang Wajibnya Wudhu Setiap Kali Shalat
Karir Kiai Iskandar Sulaiman tidak hanya berhenti sebagai seorang pengajar saja, di masa menjelang dan setelah masa kemerdekaan ia aktif di dunia kemiliteran. Semangat nasionalisme selalu terpancar dari sosoknya. Perjuangan itu terus ia lakukan hingga pangkat terakhir yang pernah ia raih sebagai seorang kolonel.
Kiai Masjkur
Ulama pejuang kemerdekaan kedua yaitu K.H. Masjkur yang lahir di Malang, Jawa Timur, pada 30 Desember 1904. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1947-1949 dan 1953-1955.
Masa muda Kiai Masjkur banyak dihabiskan untuk menuntut ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Kiai Masjkur pernah mengenyam pendidikan agama di Pesantren Bungkuk di Singosari, berlanjut ke Pondok Sono, Siwalanpanji, Tebuireng hingga berguru kepada Syaikhona Cholil Bangkalan.
Di masa-masa perjuangan revolusi pembebasan atas penjajahan, Kiai Masjkur aktif turut berjuang sebagai seorang pejuang dan ia juga tercatat selaku pendiri Pembela Tanah Air (PETA).
Ketika pertempuran 10 November 1945, namanya muncul sebagai Ketua Markas Tertinggi Sabilillah (1945-1947) diamanahkan kepada dirinya. Di masa Mr Amir Syarifuddin ia ditunjuk secara resmi untuk menjadi anggota Badan Pembela Pertahanan Negara.
Kiai Syam’un
Ulama pejuang kemerdekaan berikutnya adalah Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) K.H. Syam’un. Ulama pejuang kemerdekaan asal Banten ini adalah salah satu tokoh yang menentang pemerintahan Hindia Belanda di Banten.
Beliau juga merupakan pendiri Perguruan Islam Al-Khairiyah Citangkil, Kota Cilegon. Ia lahir di Beji, Bojonegara, Serang, Banten pada tanggal 5 April 1894. Pada umur 11 Tahun, KH. Syam’un berguru di Masjid Al-Haram tempat ahli-ahli keislaman terbaik di dunia berkumpul untuk membagi ilmu.
KH. Syam’un pernah bergabung dengan Pembela Tanah Air (PETA), sebuah gerakan pemuda bentukan Jepang. Dalam PETA, jabatannya sebagai Dai Dan Tyo yang membawahi seluruh Dai Dan I PETA wilayah Serang. Ia juga sering mengajak anak buahnya untuk memberontak dan mengambil alih kekuasaan Jepang.
Karier KH. Syam’un diketentaraan terbilang gemilang hingga diangkat menjadi Bupati Serang periode 1945-1949. Pada awal Kemerdekaan, KH.Syam’un berhasil meredam gejolak sosial di Banten, peristiwa itu terkenal dengan peristiwa Dewan Rakyat pimpinan ce Mamat.
Kiai Tubagus Ahmad Chatib al-Bantani
Ulama pejuang kemerdekaan keempat masih berasal dari Banten. Beliau adalah KH. Tubagus Ahmad Chatib, kelahiran Pandeglang, Banten, pada tahun 1855.
Pada tanggal 19 September 1945 Soekarno, selaku Presiden Republik Indonesia mengangkat Ahmad Chatib menjadi Residen Banten yang menangani administrasi dan pemerintahan sipil, serta menangani segala unsur militer.
Pada masanya ini, Ia juga pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan Indonesia seperti Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), bahkan pernah menduduki kursi MPRS dan BPPK.
Selain aktif dalam menggerakan roda pemerintahan, dalam usahanya ia juga memajukan agama dan umat. Ia merupakan pencetus berdirinya Majelis Ulama, Perusahaan Alim Ulama (PAU), serta mendirikan perguruan tinggi seperti Universitas Islam Maulana Yusuf yang di kemudian hari berganti nama menjadi IAIN Sunan Gunung Jati, Banten.
BACA JUGA: Setiap Ulama Memiliki Ketergelinciran Pendapat
Kiai Hasnawi Karim
Ulama pejuang kemerdekaan kelima atau yang terakhir adalah Kiai H. Hasnawi Karim, B.A.. Selain ulama, beliau juga merupakan seorang akademisi.
Kiai Hasnawi lahir di Batipuh Baruah, Tanah Datar, Sumatra Barat pada 24 Desember 1924 dari pasangan keluarga Abdul Karim Datuk Rangkayo Marajo dengan Hajjah Nurqamar Amin. Berbagai profesi dan pekerjaan pernah digeluti olehnya.
Dimulai dari guru, pejuang, perwira hingga pemimpin dan menjadi seorang ulama. Bahkan juga menjadi pemain dalam kancah politik. Hasnawi menjadi Imam Tentara Dinas Agama Tentara Staf A Territorium Sumatera tengah, daerah Tanah Datar untuk membina ketaatan beragama, menanamkan iman dan ketakwaan serta budi pekerti luhur para prajurit.
Hasnawi pernah menjadi kepala pendidikan dan latihan Pemuda Republik Indonesia (PRI) Batipuh X Koto Padang Panjang. Ia ikut berjuang dalam memperoleh kemerdekaan dan ia mengumpulkan bahan makanan dalam pembentukan BKR, TKR Batalyon Merapi yang dirampas dari gudang perbekalan Jepang di Batipuh.
Pada Agresi Belanda II, Hasnawi pergi ke Tarutung untuk mencari persenjataan. Belum sampai ke tempat tujuan, Hasnawi diminta untuk menyerahkan mobilnya kepada petugas di sana, karena untuk menyusun perjuangan yang sangat disegerakan.
Akhirnya Hasnawi harus berjalan kaki untuk kembali ke Padang Panjang dengan menempuh perjalanan 18 hari siang malam. “Telapak sepatu ABRI yang saya pakai dalam perjalanan 18 hari itu habis,” kata Hasnawi mengisahkan penderitaannya dalam perjuangan. []
SUMBER: OKEZONE