“Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyirikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereke sungguh-sungguh akan memetika (hasil)nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan ‘Insya Allah,’ lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur, maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita,” (QS. Al-Qalam: 17-20).
AYAT ini mengingatkan kita pada sebuah kisah lelaki shaleh dan dermawan berasal dari Yaman. Ia memiliki kebun yang sangat luas dan memiliki tiga orang anak. Lelaki shaleh dan dermawan ini selalu mengasihi orang-orang miskin dan selalu memberi makan orang fakir dan miskin dari hasil kebunnya yang sangat luas itu. Lelaki ini melakukannya dengan ikhlas dan tulus tanpa mengharapkan pujian dan balasan dari orang lain.
Ketika lelaki shaleh itu telah wafat, berkumpulah ketiga anaknya. Mereka membicarakan warisan berupa kebun dari bapaknya. Dan akhirnya disepakati untuk menetapkan waktu memanen buah dari kebun warisan bapak mereka. Mereka juga menyepakati untuk tidak memberikan hasil kebunnya itu pada orang-orang miskin, sehingga buah hasil panennya hanya untuk mereka bertiga saja.
Akan tetapi, anak yang kedua agaknya kurang setuju dengan kesepakatan itu. Dengan bijak ia mengatakan, “Kita harus menunaikan hak Allah dan memberi makan orang-orang miskin, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh bapak kita, sehingga Allah akan memberkati dan menganugerahkan kebaikan serta keberkahan pada kita.”
Kedua saudaranya itu tetap pada pendirian mereka dan tidak menggubris perkataan dari saudaranya yang kedua tadi. Bahkan mereka segera melangkahkan kaki mereka untuk masuk ke dalam rumahnya dan bergegas tidur. Niat dan keinginan mereka telah bulat, bahwa keesokan hari di waktu pagi mereka akan memanen hasil kebun mereka untuk dijual, tanpa menunaikan dan memberikan hak untuk orang miskin.
Keesokan harinya waktu yang mereka tunggu-tunggu telah tiba. Ketika bangun di waktu pagi, mereka bangun dengan penuh kegembiraan dan wajah yang ceria. Keceriaan, kebahagiaan, dan kegembiraan sedang menyelimuti diri mereka masing-masing. Pikiran mereka selalu tertuju pada hasil kebun yang memuaskan dan selalu terbayang-bayang dengan hasil panen yang melimpah ruah.
Ketika salah satu dari mereka bersuara dengan keras, dia tegur oleh saudaranya yang lain dengan mengatakan, “Sst… Kau jangan berteriak seperti itu! Rendahkan suaramu, karena jika kau berbicara dengan suara yang keras, nanti orang-orang miskin akan mendengar suara kita, dan nanti mereka akan segera berbondong-bondong datang kesini dan meminta hasil kebun kita!”
Mereka segera bersiap-siap untuk mengambil hasil kebun dan melangkah keluar rumah. Dan saat telah sampai diluar rumah, seketika itu pula mereka tertegun dan kaget dengan kondisi kebun mereka. Mereka tidak menyangka dengan pemandangan yang ada di hadapan mereka. Dengan penuh kebingungan mereka saling melemparkan pandangan antara satu dengan yang lainnya.
Dengan penuh keheranan ia menyaksikan tanah kebun mereka telah kosong seperti habis terbakar dan tidak ada satu pohon pun yang tersisa disana. Lalu mereka berkata, “Kemana ladang kita? kemana perginya hasil panen kita? kemana perginya pepohonan subur, hijau, dan indah itu? Bagaimana semua ini bisa terjadi dalam waktu sekejap?”
Setelah mereka berpikir sejenak, mereka kembali berkata, “Allah telah membalas keburukan niat kita. Dia menghalangi kita untuk bisa menikmati hasil keberkahan ladang kita karena kita telah menghalangi hak orang-orang miskin.”
Anak kedua yang kemarin menasihati mereka berkata, “Aku telah peringatkan kalian tentang akibat yang akan menimpa kalian jika kalian makan hak-hak orang miskin, sebagaimana yang tertera di dalam Al-Quran QS. Al-Ma’aarij: 24-25, ‘Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)’.”
Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, “Bukankah aku telah peringatkan dan mengajak kalian untuk memberikan hak orang-orang miskin, sebagaimana yang telah dilakukan oleh bapak kita dulu semasa ia masih hidup? Akan tetapi, kalian tidak mau dan kalian menjauh dari Allah SWT. Seandainya kalian adalah orang-orang yang terus memuji dan bertasbih kepada Allah, pasti kalian akan memberikan hak-hak orang miskin itu.”
Mendengar perkataan dari saudaranya yang berjiwa besar itu, salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, ucapanmu itu benar dan kami salah. Kami akui dosa kami setelah Allah menghukum kami. Akan tetapi, apa gunanya penyesalan sekarang ini sedangkan semuanya telah lenyap bagaikan hembusan angin?”
Saudaranya yang memiliki hati baik itu kembali menjawabnya, “Sesungguhnya penyesalan, bertaubat, dan memohon ampunan disertai dengan tekad bahwa kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, maka akan membuka pintu langit. Insya Allah, sebagai balasannya Allah akan menganugerahkan kita rezeki yang baik.” []
Sumber: 40 Kisah Pengantar Anak Tidur/Najwa Husein Abdul Aziz/Gema Insani/Depok/2006.