Oleh: Adri Elfatih
SIANG itu, sepulang dari pengajian sebuah taksi berhenti persis di depan gerbang rumah ku. Aku yang sudah memegang daun pintu untuk membuka pintu rumah sejenak menoleh kala kudengar seorang perempuan berucap salam. Aku menjawab salam dan ternyata sang perempuan memang menuju rumahku.
Perempuan itu sedang hamil besar dan kelihatan sekali dari wajahnya kalau ia sangat kelelahan. Aku tak mengulur waktu dan segera mempersilakan ia masuk segera saat ku tahu ia ternyata ingin bertemu suamiku.
Aku membuka pintu rumah dan mempersilahkan dia masuk. Kupersilahkan duduk di sofa ruang tamu sementara aku ke kamar belakang memberitahu putriku kalau ada tamu dan memintanya membawakan minum untuk tamu di ruang tamu. Tamu yang sesungguhnya aku belum kenal. Hanya karena ia bilang ingin bertemu suamiku maka kupersilahkan masuk.
Aku adalah perempuan yang tidak suka ikut campur urusan suami. Tidak suka tanya ini itu karena biasanya suamiku akan bercerita apapun soal pekerjaan dan soal hal-hal lain. Namun kali ini rasa penasaran akhirnya membuatku bertanya ada apa gerangan keperluan perempuan itu ingin bertemu suamiku siang-siang begini. Maka, kuberanikan diri untuk bertanya,
“Mohon maaf bu, kalau boleh tahu, ibu ini siapa dan ada keperluan apa dengan suami saya?”.
Jujur, pertanyaan itu aku ajukan hanya ingin tahu dan ingin menelepon suamiku mengabari kalau ada tamu yang mencarinya ke rumah.
Dengan sopan, perempuan itu pun menjawab, ”Saya istri muda suami ibu”.
Jawaban singkat itu membuat dunia seakan berhenti berputar bagiku. Namun, aku mencoba untuk memperjelas kembali jawaban perempuan itu.
“Mohon maaf bu, apakah saya tidak salah dengar?”
“Nggak bu, ini rumah pak Ahmad dan ibu adalah istrinya kan?”
Aku jawab, “iya bu, ini rumah pak Ahmad suami saya.”
“Berarti saya tidak salah bu. Saya adalah istri muda pak Ahmad. Pemilik rumah ini,” jawabnya.
Rumah yang kutempati sekan runtuh dan reruntuhannya menimpaku mendengar penegasan jawaban perempuan itu. Aku hanya bisa beristighfar sambil mengusap perutku yang juga sudah besar. Iya, aku sedang dalam kondisi hamil tua.
Putriku yang kebetulan sedang menyuguhkan minum akhirnya ikut duduk memperjelas duduk persoalan. Lalu Ia tanpa kuminta memanggil abangnya yang juga sedang berada di rumah untuk ikut duduk di ruang tamu. Mereka berdua kelihatan sangat marah mendengar pengakuan perempuan di depannya bahwa ia adalah istri muda ayah mereka.
Sudah puluhan tahun aku menemani suamiku mengarungi bahtera rumah tangga. Bahkan sampai kami dikaruniai 4 orang anak yang sudah besar-besar tak pernah sekalipun ia mengutarakan niat untuk menikah lagi. Dan kini, seorang perempuan dalam kondisi hamil tua datang mengaku sebagai istri suamiku.
Lama aku terdiam. Terbayang wajah teduh suamiku yang tiba-tiba berubah menjadi wajah monster yang paling menakutkan bagiku. Aku berfikir, jadi selama ini dia ijin keluar kota ternyata memang untuk bertemu istri simpanan. Aku tak habis fikir suamiku yang seorang guru dan ustadz yang kesehariannya mengajar dan berceramah tega memperlakukan istrinya sedemikian caranya.
Namun, aku mencoba untuk menguasai diri. Aku sampaikan ke perempuan itu kalau suamiku masih kerja dan kemungkinan pulang malam. Aku minta ia datang kembali esok pagi. Untungnya sang perempuan mengerti dan langsung berpamitan.
Setelah perempuan itu berlalu. Aku masuk kamar dan menangis sejadi-jadinya. Anak-anakku mencoba untuk menenangkanku. Namun tak sedikitpun aku menghiraukan mereka. Aku lalu mengurung diri di kamar. Bahkan saat suamiku pulang dan biasanya aku menyambut dengan ramah, kali ini aku seperti kehilangan keinginan untuk berbaik-baik dengan nya. Suamiku tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang paling aku benci.
Ia menghampiriku dan kemudian bertanya ada apa. Aku hanya menjawab “gak apa-apa” sambil memunggunginya. Tak sedikitpun menoleh.
Melihatku yang tak berkenan untuk diganggu dan pertanyaannya hanya ku respon seperlunya ia mengalah dan menjauh. Ia mungkin bingung mengapa aku tiba-tiba bersikap dingin dan tak peduli. Tapi, kebiasaan suamiku adalah meninggalkanku sementara jika aku melihat aku sedang tidak ingin diganggu.
Suamiku tidak bertanya ke anak-anak yang saat itu sedang berada di rumah mengapa aku tiba-tiba menjadi dingin dan mengurung diri di kamar. Namun, anak sulungku sepertinya sudah tak sabar akhirnya menceritakan duduk persoalannya.
Samar-samar kudengar ia menjelaskan kepada ayahnya perihal kedatangan perempuan itu siang tadi. Dan, tak kudengar suamiku menanggapi. Ia mungkin langsung berangkat menuju masjid untuk shalat isya berjamaah setelah mendengar cerita anaknya. Aku berfikir barangkali suamiku merasa tertangkap basah akhirnya tidak menanggapi cerita anaknya. Dan itu membuatku semakin benci kepadanya.
Sepulang dari masjid kudengar Ia mengaji dan Ia tak muncul lagi di kamar. Ia memilih tidur di ruang tamu. Aku berfikir ia mungkin sedang menghimpun rasa sesal dan rasa bersalahnya karena tertangkap basah punya istri simpanan. Aku tak peduli, tapi justru malah membuat air mataku mengalir makin deras. Aku menangis dalam diam.
Sebelum subuh ia membangunkan ku untuk shalat tapi tak ku hiraukan. Saat ku dengar ia sudah berangkat menuju masjid untuk shalat subuh aku beranjak ke kamar mandi kemudian berwudhu. Aku shalat subuh dan kembali tidur. Tidur-tiduran lebih tepatnya karena semalaman aku tidak bisa tidur sebenarnya dan hanya bisa menangis. Menangisi diri yang dikhianati oleh suami yang selama ini tak pernah sedetik pun aku tak percayai.
Hari itu suamiku tidak berangkat mengajar. Ia hanya kudengar mengaji sepulang dari masjid sampai matahari meninggi. Ia sepertinya memilih untuk tetap di rumah menunggu perempuan yang datang kemarin karena saya bilang ke permpuan tersebut untuk datang hari ini.
Sekitar jam 10 pagi, sang perempuan datang. Ku tahu karena aku mendengar samar-samar dari anak ku yang membukakan pintu dan dari pembicaraan mereka. Aku tak berminat keluar kamar. Aku tentu malu menerima tamu dengan kondisi mata masih sembab karena tak berhenti menangis.
Aku pun tak mau memperhatikan pembicaraan mereka yang samar-samar sampai ke kamarku. Aku sudah terlalu sakit dan tak mau menambah rasa sakitku.
Sekitar 10 menit berlalu tiba-tiba suamiku datang menghampiri dan mengelus kepalaku. Dengan lembut ia berbicara di telingaku dan menjelaskan yang sebenarnya. Ternyata, perempuan itu salah alamat. Perempuan itu adalah istri muda tetangga di kontrakan belakang rumahkku. Orang tersebut baru pindah jadi kami belum mengenalnya. Kebetulan namanya sama dengan nama suamiku.
Suamiku kemudian memintaku untuk keluar menemui si perempuan. Walau hati masih sangat dongkol, aku akhirnya beranjak juga menuju ruang tamu. Lalu tanpa diduga si perempuan langsung menghambur memelukku sambil menangis.
“Maafka aku, Bu haji. Ternyata aku salah alamat. Suamiku bukan suami bu Haji, hanya namanya saja yang sama,” ucap perempuan itu sambil terisak.
Aku kaget. Akhirnya justru tangisku makin deras. Kali ini bukan tangis sedih tapi tangis bahagis karena ternyata suamiku tak mengkhianatiku.
Dengan terbata-bata aku berkata “tidak apa-apa bu.”
Suamiku kemudian mengantarkan si perempuan ke rumah suaminya yang tak jauh dari rumah.
Sepulang dari mengantar si perempuan. Aku memeluk suamiku sambil menangis. Aku menangis sejadi-jadinya sambil memohon maaf karena telah berprasangka buruk kepadanya. “Yang, maafkan aku yang telah curiga sama abang dan berfikir abang mengkhianatiku”.
Suamiku hanya mengelus-elus kepalaku dan berkata, “Tidak apa-apa, Yang. Abang tidak apa-apa. gak usah difikirkan, abang tidak apa-apa. Yayang tidak usah ketus-ketus lagi ya sama Abang. ntar si kecil jadi ketus deh.”.
Ia kemudian mengelus perutku sudah makin membesar.
“Terima Kasih, Yang,” ucapku sambil tersenyum. Dan kulihat suamiku tersenyum manis. Manis sekali.
Sejak itu aku belajar untuk makin percaya dengan suamiku. Karena memang selama bersamanya tak pernah seingatku ia berbohong kepadaku. Dan tak mudah percaya kata orang tanpa ku dengar langsung dari suamiku.
Kejadian memalukan dan memilukan itu akhirnya makin menunjukkan betapa besar cinta suami kepada ku. []
#Teruntuk Yumma
#Berdasarkan kisah nyata
Dramaga, 13042016