Oleh: Fitri Amalia
ALKISAH di sebuah kampung pojokan Betawi, hiduplah seorang anak bernama Aci. Tak seperti keluarga lain pada umumnya, orang tua Aci sedikit kekinian. Kata-kata awas pamali, jangan duduk di depan pintu takut jauh jodoh, atau kata tak masuk akal lain tak pernah mampir ke telinga Aci.
Hari berganti, musimpun berlalu dari musim rambutan, mangga akhirnya sampai juga musim duren. Seiring musim yang berganti, begitu juga Aci. Ia pun tumbuh menjelma menjadi gadis manis. Seperti gadis manis lainnya beberapa pria mulai mendekatinya termasuk Regan cowo gagah dari negeri Jiran. Tetapi pilihan Aci jatuh pada Abang Eko, pria gagah dari RT lima. Mas Iq penjaga masjid lah pak comblang yang mengenalkan Aci dengan Eko. Usaha Pak comblang yang di lakukan Mas Iq berjalan lancar. Akhirnya Aci dan Eko berjodoh.
Ramai acara pernikahaan. Para tetangga ikut membantu acara masak di rumah Aci dari sehari sebelumnya. Saat tetangga sedang repot masak di bawah tenda, langit tiba-tiba mendung, awan gelap tampak menghampiri lalu terdengarlah suara menggelegar. Tapi bukan suara petir, melainkan suara si Enyak Nur Janah depan rumah.
“Ci … Aci …, mana celana dalem Lo, mendung nih, sini Enyak lempar ke atas genteng, orang lagi pada masak, takut ujan!!!”
“Heizzz …,apa apan sih Nyak, tahyul itu, Aci mah ngga pake yang kaya begituan,” jawab Aci sambil malu karena Nyak meminta barang pribadinya.
Ternyata acara tahyul bukan cuma itu saja. Di tempat masak juga ada dupa beserta sesajen yang sudah di siapkan Enyak Nur tetangga depan. Aci pun segera menyingkirkannya membungkusnya dengan roknya, mengendap-ngendap sambil pesan sama tetangga yang lain
“Ibu-ibu, jangan bilang-bilang Nyak ya, kalau dupanya udah Aci buang!”
Esok harinya acara pernikahan berlangsung hikmat, Aci dan Eko duduk di pelaminan. Jadi Ratu dan Raja meski cuma sebentaran. Dengan acara yang tidak berlangsung seharian. Maka pengantin, anggota keluarga juga para tamu tetap bisa menjalankan salat pada waktunya.
Sebulan setelah acara pernikahan, ternyata pihak keluarga pengantin laki-laki menginginkan ada pesta juga. ‘Ngunduh mantu’ istilahnya. Tapi pesta ini ternyata tidak seperti pesta yang diadakan di rumah Aci. Di sini pesta berlangsung semalaman. Full musik dan panggung dangdut dengan biduan wanitanya. Hiikk …, Aci bersedih, orang-orang pada goyang dombret di acara pesta pernikahan yang harapannya berlangsung dengan santun.
Beberapa bulan kemudian Aci yang tinggal di rumah mertuanya ini hamil. Di sinilah akidah benar-benar di uji. Banyak hal janggal yang diperintahkan Mak Yul mertua Aci. Mulai dari harus membawa gunting kecil kemana-mana, sering mencuci perut agar bayi lahir bersih. Suami tidak boleh mancing, agar bibir calon bayi tidak sumbing, tidak boleh keluar menjelang magrib sampai malam meskipun sebenarnya hanya ingin ke warung. Harus berkata ‘amit-amit’ setiap waktu serta masih banyak lagi yang kesemuanya tidak masuk akal. Di samping itu, menurut Aci ini semua tidak sesuai dengan ajaran agama. Tapi untunglah Aci sudah dibekali nilai akidah yang lurus sejak kecil oleh orang tuanya, sehingga dosa syirik akibat berlindung pada gunting dan lain sebagainya bisa Aci hindari.
Hari berganti dan perut Aci makin membesar, sang Mak Yul mertua yang sayang cucu dan menantu ini sangat perhatian.
“Ci … Aci … , perutmu harus rajin di urut ya biar posisinya pas,” kata Mak Yul.
“Tapi Bu, kata dokter ngga boleh diurut, bahaya Bu,” kilah Aci.
“Eh, kamu dibilangin sama orang tua,” sahut Mak Yul.
Hari berlalu, ternyata Aci ada masalah dengan kandungannya, sungsang. Mungkin karena saat itu Aci bekerja jadi harus mengetik dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Karena Aci kurang gerak maka bayi tidak berada pada posisi yang pas. Jadi terpaksa ia harus lahir dengan jalan operasi. Dan apa kata Mak Yul?
“Dibilangi orang tua disuruh urut, ngga mau nurut sih.”
Aci hanya tersenyum, kemudian Mak Yul menyodorkan segelas air.
“Nih minum, Ibu mintain air ke orang pinter, semoga kamu ngga jadi operasi.”
Aci menggeleng.
“Engga Bu, Aci ngga pake gini-ginian biar Aci bero’a aja minta tolong sama Allah. Operasi juga ngga papa ko Bu. Dah banyak orang yang operasi Bu, dan sehat-sehat aja.”
Saat di rumah sakit Aci bersebelahan dengan orang Bali, pasien operasi juga, tapi sang bayi meninggal di perut. Ia pendarahan setelah perutnya di urut oleh tukang urut, karena posisi bayi yang sungsang. Katanya, usus yang menyambung ari-ari dan bayi putus setelah si tukang urut memutar sang bayi. Akhirnya ibu ini harus operasi meski si bayi sendiri sudah tak tertolong lagi. Aci pun membatin.
“Alhamdulillah, untung saya ngga diurut, jadi bayi saya selamat.”
Selepas lahiran ternyata hal-hal seperti ini tidak kunjung berahir, justru makin banyak pas si cucu hadir ke dunia. Mulai dari sapu lidi yang disuruh menjaga bayi, sampai dengan bengle benda mirip kunyit yang harus selalu dipasang kan menggunakan peniti di baju sang bayi. Saat pulang kerja Aci mencopot peniti bangle yang menempel di baju si anak tersayang. Paginya waktu berangkat kerja peniti bangle ini akan menempel lagi. Begitu setiap hari.
Buat Aci tidak mudah menghadapi Mak Yul yang sayang menantu dan cucu ini. Potensi konflik hampir terjadi setiap saat, bantahan-demi bantahan tetap Aci sampaikan dengan hati-hati. Tak jarang wajah kesal tampak di raut Mak Yul. Tapi mau bagaimana lagi Aci juga ingin menjaga akidah anaknya sejak ia masih dalam kandungan.
* * *
Waktu berlalu dan saat hamil anak ke-dua Aci jalani dengan happie. Ia sudah punya rumah sendiri, jadi saat hamil dan punya bayi tidak khawatir dengan segala mitos dan tahyul. Ia jalani masa kehamilan dengan banyak mengaji. Lalu Alhamdulillah anak kedua lahir denga sehat, bayinya juga gemuk, besar, putih dan bersih . Jauh sekali dari keadaan fisik anak pertama yang saat itu kurus dan sering sakit-sakitan.
Di saat inilah Mak Yul berkata.
“Ternyata ngga pake gitu-gituan juga ngga papa ya, ini anak malahan lebih sehat.”
“Iya lah bu, mending juga berdo’a ke Allah daripada berlindung ke gunting, sapulidi, apalagi bangle. Dosa Bu,” jawab Aci. []