Oleh: Ahmad Yusuf Abdurrohman
“SIAPAKAH pahlawan sejati itu?” Sesaat, terlintas pertanyaan ini dalam benakku. Meresap dan merasuk dalam kalbu. Aku masih tetap mencari jawaban. Tapi, tak bisa segera kutemukan.
Kutanyakan pada karang, bebatuan, dan batang-batang ilalang, tapi semuanya terdiam. Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Bahkan, ketika kutanyakan pada rumput yang bergoyang, dia hanya melambaikan jemari kecilnya yang panjang tanpa mengucap jawaban.
Kurebahkan tubuhku di antara rerumputan nan hijau, seraya menghela napas panjang dengan perlahan. Bulir-bulir senyawa oksigen masuk ke dalam dua paru-paruku. Bertukar dengan karbon dioksida dalam alveolus.
Tak disangka, tiba-tiba memori lama itu merasuk dalam pikirku. Ya, memori lama penuh kenangan; masa-masa indah ketika aku masih sekolah.
Dan di situlah aku bertemu dengan mereka; sosok para pahlawan itu. Ya, para pahlawan tanpa tanda jasa. Itulah guru-guruku kehidupanku.
Aku teringat, betapa sabarnya mereka membimbingku saat lisan masih tertatih-tatih membaca. Menuntun tanganku saat saat kumulai lelah menulis. Ya, mereka sangatlah berarti bagiku. Tanpa bimbingan mereka, mungkin aku tak bisa merajut kata-kata ini, menyusun paragrafnya, serta merangkai maknanya.
Saat aku masih SD dahulu, ada sebuah peristiwa yang kukenang. Berjajar rapi di lapangan sekolah, mengenakan baju berwarna putih, celana merah, serta topi berwarna senada berlogo dan bertuliskan ‘Tut Wuri Handayani’.
Saat itu, kuingat Bapak Kepala Sekolah bertanya, “Apakah cita-cita kalian?” Semua terdiam, tak sepotong kata terucap dari lisan-lisan kami.
“Siapa yang ingin jadi dokter?” Beberapa siswa mengangkat jemari mungil mereka dengan malu-malu.
“Siapa yang ingin menjadi pilot?”
Beberapa siswa yang lain juga ikut mengangkat jari seraya mengangguk. Hingga pertanyaan-pertanyaan lain dilontarkan, banyak siswa yang akhirnya mengangkat jari telunjuk mereka.
Sampailah juga pada pertanyaan itu, “Siapakah yang ingin menjadi seorang guru?”
Hening, senyaplah suasana saat itu. Tak satupun ada siswa yang mengangkat jemarinya.
Pertanyaanpun diulang, barangkali para siswa kurang memperhatikan. Mungkin begitulah yang ada di benak Bapak Kepala sekolah. Namun saat pertanyaan kedua dilafalkan, tetap tak ada satu jemari pun yang terangkat.
Dengan mata berkaca-kaca, beliau bertanya, “Jika Kami telah tiada, siapa yang bersedia menggantikan posisi Kami?”
Hatiku bergetar, bergemuruh mendengarnya. Mungkin, sikap kami saat itu menggores luka di hati kecil beliau. Saat itu kami masih anak-anak; polos dan tak menahu banyak hal. Namun, kini kusadar betapa para guru telah banyak meneteskan atsar-atsar di jiwa dan kalbu kami.
Mungkin, hal itu juga yang membuatku ingin menjadi seorang guru; meneruskan perjuangan mereka. Memang, menjadi seorang guru bukanlah profesi yang diinginkan kebanyakan orang. Tapi kuyakin, begitu mulianya profesi ini.
Saat SMP dan SMA, aku juga bertemu dengan para guru hebat. Tak hanya mengajarkan pelajaran yang berbaris rapi dalam bait-bait kurikulum. Namun, mereka juga mengajarkan tentang ilmu-ilmu kehidupan. Ya, ilmu yang selalu kita gunakan di manapun kita berada.
Ada seorang guru yang aku kagumi, setiap goresan penanya dan interaksinya denganku, sarat akan nasihat-nasihat kehidupan. Darinyalah aku dapatkan semangat untuk merangkai kata dan merajut makna.
“Mas, kita menulis bukan untuk dikenal banyak orang dan mendapatkan banyak harta darinya. Tapi, kita menulis untuk berkontribusi demi kebaikan hidup orang lain.” Begitulah nasihatnya padaku suatu hari.
Ada juga guru lain yang berkesan dalam kalbuku. Dia laksana seorang ibu yang selalu memperhatikan anak-anaknya. Bahkan tulisan tentang kisahku sebelum bersekolah di sana masih disimpan dan diingatnya.
“Saya masih ingat waktu Mas Ahmad nulis kisahnya sebelum ke sini.” Begitulah kisahnya saat aku berkunjung ke sana.
Beliaulah yang selama ini mengajariku tentang bahasa, keindahannya dan semua seluk beluknya. Hingga kini, aku masih belajar darinya. Bertanya tentang bebagai hal tentang sastra.
Hingga beberapa saat yang lalu, aku sering bertanya tentang penulisan berbagai kalimat. Ditanyalah diriku, “Mas Ahmad sekarang sering nulis, ya?”
“Iya, Bu,” jawabku. “Maaf, saya belum bisa menjadi murid yang membanggakan saat masih bersekolah dulu,” lanjutku.
“Ibu Guru bangga dengan apa yang sudah dan akan Mas Ahmad kerjakan,” jawab beliau.
Inilah serpihan kecil tentang kisah para pahlawan tanpa tanda jasa dalam hidupku. Memang, mereka tak memiliki medali, piala atau apapun itu. Namun, mereka selalu punya tempat istimewa di hati para siswanya. []
Pati, 5 Januari 2016