Oleh: Rizki Lesus
Wartawan dan pegiat Jejak Islam Bangsa
INI adalah kisah persahabatan abadi antara dua orang berwibawa. Persahabatan, atas perjuangan Islam. Dua sahabat yang saling mencintai karena Islam, entah, mungkin saat muda dulu. Ketika namanya menghiasi media massa. Seorang wartawan’ Pembela Islam’ yang menerima tulisan dari seorang wartawan ‘Kemaoean Zaman’. Dua orang wartawan, yang berpisah jalan, namun bertemu kembali.
Pertemuan yang membawanya ke Gedung Konstituante (kini Gedung Merdeka) Bandung tahun 1957. Saat itu, mereka berdua adalah anggota konstituante, yang bertugas merumuskan Undang-Undang Dasar RI (pasca UUDS 1950 dan UU RIS 1949). Saat itu, Hamka dan Natsir berada dalam fraksi Partai Masyumi.
Izinkan Natsir berkisah. Berkisah tentang sahabat sejatinya.
Izinkan Natsir bertanya, siapa yang tak mengenal Hamka?
Izinkan saya betanya, sisi mana lagi yang tidak diketahui tentang Hamka? Semua orang sudah tahu sosok ulama dan pujangga ini. Barang kali ada satu kisah lagi..
Di ruang-ruang sidang konstituante Republik Indonesia, di tahun lima puluhan, di Bandung – bila datang saatnya bisa mencetus sajak Hamka yang mengharukan, di samping menjadikan lawan dan kawan menggertak gigi.
Tapi, di yang itu juga bila datang pula saatnya – tidak pula segan-segan ia menamakan kucing dengan: “kucing!”
Singkap daun, tampak buah. Dengan lantang, tanpa tedeng aling-aling.
Saya masih ingat. Di bidang ini kami, Hamka dan saya “pernah bejumpa.” Dua kali.
Baiklah, saya ceritakan sedikit sebagai kenang-kenangan kami……
Pada tanggal 13 November 1957, dalam sidang konstituante yang sedang penuh sesak, mencetus sebuah sajak Hamka, dikorehkannya dengan pensil di atas secarik kertas yang langsung disisipkannya ke dalam saku baju saya, pada saat saya turun dari mimbar.
Ditulisnya sewaktu saya sedang mengemukakan konsep fraksi kami, fraksi masyumi, tentang “Dasar-dasar Hidup Bernegara” di hadapan fraksi-fraksi lain: Nasionalis, Islam, Komunis, Sosialis, Katholik, Protestan, dan anggota-anggota yang tidak berfraksi. Dapat dimengerti, bahwa dalam suasana di mana masing-masing aliran saling memperkenalkan ideologi mereka, silih berganti secara terus terang, suhu politik mulai meningkat. Apalagi sesudah beberapa waktu sebelum nya, Presiden Soekarno mengancam dalam pembukaan konstituante, “bahwa siapa saja yang tidak menyesuaikan diri dengan arus Revolusi, ia akan dilanda oleh Revolusi…!”
Sajak Hamka itu berbunyi:
“Meskipun bersilang keris di leher
Berkilat pedang dihadapan matamu
Namun yang benar kau sebut benar juga
Cita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada Musa
Jibril berdiri di sebelah kananmu
Mikail berdiri di sebelah kiri
Lindungilah Ilahi memberi tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu, Hai Natsir, suara kaum-mu
Ke mana lagi Natsir, ke mana kita lagi
Ini berjuta kawan sefaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan!
Dalam daftarmu…”
Sajak yang sungguh menggugah. Secarik kertas, dari sang pujangga. Kira-kira setahun setengah sesudah itu, bertambah jelaslah Presiden Soekarno hendak membawa Negara kita ini.
Apa yang dinamakan “Demokrasi Terpimpin” sudah berjalan. Front Nasional telah berdiri sebagai pelaksanaannya.
Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif berada dalam satu tangan di tanan presiden Soekarno yang menampilkan diri sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang tidak bisa diganggu gugat.
Teranglah di waktu itu, apa sebenarnya Presiden Soekarno pada waktu pembukaan konstiutante dulu itu, dengan mengatakan bahwa , “Revolusi akan melindas setiap orang yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan arusnya.”
Maka, dalam salah satu sidang Kosntiutante bulan Mei 1959 dengan langtang Hamka menegaskan pendapatnya bahwa
Trias Politica sudah kabur di Indonesia
Demokrasi terpimpin adalah totaliterisme
Front Nasionala dalah partai Negara
Pidato Hamka yang tersiar juga di surat kabar dan radio dan sampai juga ke tempat saya, yang waktu itu berada di sataisun radio PRRI di Sumpur Kudus, Sumater Barat.
Suara Hamka demikian itu, kami rasakan sebagai halilintar di siang hari, yang tadinya kami tak duga-duga
Pada malamnya, tanggal 23 Mei, saya coba-coba menjawab Hamka dengan sebuah sajak ang disiarkan oleh radio PRRI, bunyinya sebgai berikut
“DAFTAR”
Saudaraku Hamka
Lama, Suaraya tak kudengar lagi
Lama…
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongang mortar dan mitraleur
Dentuman bom meriam sahut –menyahut
Kudengar tingkahan irama sajakmu itu
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku
Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam “Daftar”
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti
Melantang menyambar api kalimah-hak dari mlutmu
Yang biasa besenandung itu
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam
pancangkan!
Pancangkan olehmu wahai Bilal!
Pancangkan Panji-panji Kalimat Tauhid,
Walaukarihal –kafirun!
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Ke dalam “daftarmu”
Saudaramu, Tempat 23-5-1959
Beberapa waktu itu sesudah Konstituante dibubarkan dan Hamka tidak luput dari ucapannya itu. Dengan segalam macam tuduhan Hamka ditangkap dan dimasukkan karantina.
Jasadnya terkurung, jiwanya tetap bergerak bebas
Dalam karantina regim Soekarno, ditulisnya tafsir Al Quran sampai tamat. Yang sekarang dikenal sebagai “tafsir Al Azhar” itu…
Waktu saya dibebaskan dari tahanan penjara tahun 1967, dan bertemu lagi pertama kali dengan Hamka di Mesjid Agung “Al Azhar”, saya tanyakan sambil bersalaman “Sudah diterima?” Dijawabnya sambil senyum: “Sudah!” –Rupanya, salah seoarng penduduk Jakarta yang memonitor radio PRRI telah menyampaikan “jawaban” saya itu kepada Hamka, juga di atas secarik kertas
***
Dua kali berjumpa….Kini, mereka tak lagi berjumpa, menanti, seperti halnya kita. Menanti. Menanti perjumpaan kekal kelak. Masukkan kami dalam “daftar “ itu Ya Rabb. Menanti perjumpaan dengann –MU…