MENGAPA beberapa imam Masjidil Haram membaca mad jaiz munfashil dengan pendek?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui beberapa hal yakni:
1- Dalam qiroat ada jalur yang dinamakan dengan jalur syathibiyyah, ad-durratul mudhiyyah dan ath-thayyibah an-nasyr.
Syathibiyyah adalah thariq yang termuat dalam matn syathibiyyah karya Imam asy-syathibi yang merangkum bacaan Imam qiroat 7 dengan kedua perawi dari masing-masing imam qiroat, biasa disebut dengan qiroat sab’.
Ad-durratul mudhiyyah adalah thariq dari kitab ad-durrah al-mudhiyyah karya imam Ibnul Jazariy yang membahas 3 imam qiroat dengan dua perawi dari masing2 imam qiroat.
BACA JUGA: Hikmah Alquran Pakai Bahasa Arab yang Jarang Disadari
Kitab ini mengikuti pola penulisan matn syathibiyyah dan biasa dikatakan dengan qiroat tsalatsah al-mutammimah lil asyr, biasanya disebut dengan qiroat asyarah sugra.
Sedangkan thariq an-nasyr adalah qiroat 10 yang termuat dalam kitab thayyibatun nasyr karya imam ibnul jazari. Thariq ini membahas 10 imam qiroat akan tetapi dengan perawi yang berragam (lebih dari 2 perawi bagi masing-masing imam qiroat). Kompleksitas bacaannya juga lebih banyak dan biasanya disebut dengan qiroat asyrah kubro.
2- Dalam thariq/jalur syathibiyyah untuk bacaan mad munfashil dan muttashil riwayat Hafsh hanya membaca dengan tawasut (kisaran 4-5 harakat).
3- Mad munfashil yang dibaca dengan 2, 4, 6 harakat untuk riwayat Hafsh hanya terjadi dalam thariq an-nasyr.
4- Imam haramain adakalanya membaca dengan riwayat Hafsh an ‘Ashim dari thariq thayyibah seperti al-Mishbah, al-Mu’addil dan lainnya. Tapi tentu dengan paket bacaannya khusus dan perbedaannya tidak hanya untuk mad munfashil saja.
BACA JUGA: Ahlak dan Ibadah Imam Ahmad bin Hanbal
5- Pun adakalanya imam haramain membaca dengan hadr dan munfashilnya juga akan selaras dengan kecepatan maratibut tilawah yang dibaca, sehingga terkadang durasinya terasa pendek.
6- Lalu pertanyaan lanjutan adalah “Bacaan versi imam haramain di atas boleh ditiru tidak?” Jelas boleh dengan syarat harus mengetahui riwayat dan thariq yang dibaca serta sepaket bacaannya tersebut sehingga tidak taqlid al-a’ma (meniru tanpa tahu sumbernya) pun tidak mencampuradukkan riwayat/thariq karena ketidaktahuan dan asal ikut-ikutan tanpa ilmu. []
SUMBER: MARQAZ QIRAAT INDONESIA