BAGI para muslimah harapan untuk puasa full selama Ramadhan kadang sulit terwujud, karena seringkali ‘halangan’ datang, baik itu berupa haid, nifas, kondisi hamil, menyusui ataupun uzur syar’i lainnya.
Lalu, bagaimana dengan permasalahan muslimah dalam pusa tersebut? Inilah penjelasan singkat terkait hal tersebut.
Wanita belum mandi setelah suci haidh atau masih dalam keadaan junub ketika masuk shubuh
Wanita yang suci sebelum Shubuh masih boleh melanjutkan puasa walaupun belum mandi kecuali ketika sudah masuk Shubuh. Karena yang penting sudah suci, menunda mandi tidak masalah seperti kasus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dalam keadaan junub saat Shubuh.
Aisyah radhiyallahu ‘anhaberkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Muslim, no. 1109)
Dalil lainnya bolehnya masuk Shubuh dalam keadaan junub adalah ayat, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Wanita buka puasa dalam keadaan ragu keluar haidh
Bagaimana jika ada wanita yang masuk waktu Maghrib (buka puasa) dalam keadaan ragu apakah haidh yang ia temui saat Maghrib keluarnya sebelum buka puasa ataukah sesudahnya? Misal kebiasaan haidhnya hari tersebut, jam 4 sore ketika dicek tidak keluar darah haidh. Saat berbuka puasa (jam 6) baru ketahuan darah haidh ada. Kalau ternyata keluar sebelumnya, tentu saja puasanya jadi batal dan harus diganti di hari yang lain. Sedangkan kalau darah haidh keluar ketika waktu berbuka tiba, puasanya berarti tidak diqadha’.
Jawabannya untuk masalah ini adalah pegang yang yakin dan tinggalkan yang ragu-ragu.
Ada penjelasan sebagai berikut, “Setiap yang meragukan dianggap seperti tidak ada. Setiap sebab yang kita ragukan kapan munculnya, maka tidak ada hukum pada yang akibatnya. Sebab tersebut seperti sesuatu yang dipastikan tidak ada, maka tidak dikenakan hukum ketika itu. Begitu pula setiap syarat yang diragukan keberadaannya, maka dianggap seperti tidak ada sehingga tidak diterapkan hukum untuknya. Begitu pula setiap mani’ (penghalang) yang diragukan keberadaannya, dianggap seperti tidak ada. Hukum baru ada apabila sebab itu ada. Perlu diketahui, kaedah ini disepakati secara umum.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 4:94, Asy-Syamilah)
Dari kaedah di atas dapat dipahami bahwa keadaan yang yakin yang dipegang adalah masih dalam keadaan suci. Sedangkan keadaan ragu-ragu adalah dalam keadaan tidak suci. Sehingga ketika berbuka baru didapati darah haidh dan tidak diketahui keluarnya baru saja ataukah sebelum berbuka puasa, maka keadaan yang dipegang adalah keadaan suci.
Kesimpulannya, masalah di atas tetap dianggap masih dalam keadaan suci ketika masuk buka puasa. Sehingga puasanya tidak perlu diqadha’, alias tetap sah.
Shalat Tarawih bagi Muslimah
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya)
Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutup aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang.
Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaberkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”(HR. Muslim, no. 442)
Demikianlah berbagai persoalan muslimah terkait puasa. []
SUMBER: RUMAYSHO