SETIAP muslim pasti berharap bisa berpuasa penuh selama bulan Ramadhan. Namun, bagi para muslimah harapan itu kadang sulit terwujud, karena seringkali ‘halangan’ datang, baik itu berupa haid, nifas, kondisi hamil, menyusui ataupun uzur syar’i lainnya.
Lalu, bagaimana dengan permasalahan muslimah dalam pusa tersebut? Inilah penjelasan singkat terkait hal tersebut.
Puasa Wanita Hamil dan Menyusui
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Lebih tepat wanita hamil dan menyusui dimisalkan seperti orang sakit dan musafir yang punya kewajiban qadha’ saja (tanpa fidyah). Adapun diamnya Ibnu ‘Abbas tanpa menyebut qadha’ karena sudah dimaklumi bahwa qadha’ itu ada.” (Syarh Al-Mumthi’, 6:350)
Kewajiban qadha’ saja yang menjadi pendapat ‘Atha’ bin Abi Rabbah dan Imam Abu Hanifah. Inilah pendapat terkuat dari pendapat para ulama yang ada. Sehingga wanita hamil dan menyusui masih terkena hukum ayat, “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Wanita haidh dan flek saat puasa
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai sebab kekurangan agama wanita, beliau berkata, “Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari, no. 304; Muslim, no. 79).
Bagi wanita yang berhalangan untuk puasa karena haidh tersebut, ia punya kewajiban untuk mengqadha’ puasa di hari lain.
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Aisyah menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim, no. 335)
Namun bagaimana jika mendapati hanya flek saat puasa, apakah puasanya batal?
Ada kaedah dari Syaikh As-Sa’di dalam kitabnya Manhaj As-Salikin yang bisa menjawab hal ini. Flek yang keluar di masa kebiasaan haidh sebelum darah haidh keluar, ditambah jika terasa nyeri, maka terhitung sebagai darah haidh. Begitu juga dengan flek yang keluar setelah darah haidh dan masih bersambung, maka dianggap darah haidh.
Sedangkan flek yang keluar di luar masa kebiasaan haidh, maka dianggap bukan darah haidh. Sama halnya dengan flek yang keluar setelah suci (setelah darah haidh berhenti total), namun setelah beberapa hari keluar flek lagi, maka dianggap bukan darah haidh.
Jika dianggap haidh, maka tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa. Jika dianggap bukan darah haidh, maka tetap diperintahkan shalat dan puasa.
Wanita menggunakan obat penghalang haidh
Dalam Al-Mughni (1:450), Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, “Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, ‘Tidak mengapa seorang wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut baik (tidak membawa efek negatif).’”
Syaikh Abu Malik–penulis kitab Shahih Fiqh As-Sunnah–menerangkan, “Haidh adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan. Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci, artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu a’lam.” (Shahih Fiqh As-Sunnah, 2:128). []
SUMBER: RUMAYSHO