Oleh: Lisma Nopiyanti, lismanopiyanti@gmail.com
SUARA adzan berkumandang, sore keabuan itu. Udara menjadi basah, merengkuh hangat yang sejak siang tadi hadir. Terlebih badan dilumuri air wudhu, dingin sekali. Segera menempatkan posisi untuk menunaikan hutangku pada Rabb. Setelah melunasinya, aku dengan cekatan memadankan kemejaku dengan sebuah rok berbahan levis dan melengkapinya dengan kerudungku.
Lalu, berangkat ke kampus bersama temanku; pemilik kos. Maklum kala itu, aku sedang menumpangkan sisa waktu luangku menuju pergantian mata kuliah sore ini di kostnya.
Seperti biasa, kami menanti sang dosen tiba. Menanti jam-jam sore terhabiskan bersama ilmu. Sekitaran beberapa menit menunggu. Tak lama kemudian, terdengar suara klakson sang dosen dan disusul dengan penampakan mobil cantik berwarna putih itu. Bergegas masuk ruangan.
Suasana yang sedikit abu, ditambah riuh angin yang semilir itu mengajak mata-mata nakal ini menutup secara serantangan. Kalau sang dosen tak mampu menyiasati, mungkin seisi kelas habis terbawa mimpi.
BACA JUGA: Dosen yang Menginjak Al-Quran
Kelas mulai berseru-seru, kala pemandu memulai sesi bertanya. Kebetulan, ada persentasi kelompok hari ini. Bergilirlah pertanyaan-pertanyaan di terima; lalu sesaat kemudian dijawab dengan cekatan oleh regu ahli. Hingga akhirnya, sang dosen turun ke lapangan. Mengikutkan diri seraya menyampaikan jurus-jurusnya dalam setiap pembelajaran. Kali ini temanya adalah berhitung.
“Begini, ada hal yang ingin Bapak sampaikan kepada kalian. Coba dengarkan ini, yaa” pinta pak dosen, untuk segera memulai ceritanya.
Cerita ini mengisahkan si putih dan si hitam. Mereka berdua saling berteman; dengan baik. Si putih diberikan anugerah kecerdasan yang luar biasa, sedang si hitam tak memilikinya, ia terlihat agak bodoh (tidak pintar) dibanding si putih. Si putih tinggal di padepokan; tempat untuk menuntut ilmu. Ia juga terkenal dengan siswa kesayangan sang guru karena kecerdasannya.
Suatu hari, si hitam menghampiri si putih. Si hitam mengajak si putih bertaruh. Ia membuat semacam sayembara; jika nanti si hitam kalah, ia akan memenggalkan kepalanya. Dan jika si putih yang kalah, ia harus meninggalkan padepokan.
“Si putih, percayakah kamu 6×6=37?” tanya si hitam.
“Tidak, itu jawab yang salah. Jawaban yang benar adalah 36,” jawab si putih dengan kecerdasannya.
“Mana mungkin, jawaban yang benar adalah 37,” si hitam mulai mengeras.
“Aku sudah belajar sejak lama, dan aku tidak pernah salah. Jawabanku selalu tepat. 6×6 adalah 36,” si putih memperjelas.
“Aku tidak percaya, jawabanmu salah. Jawabannya tetap 37!!! Kalau pun aku salah, biarlah aku penggal kepalaku sendiri. Dan kamu, jika kamu kalah, angkat kakimu dari padepokan ini!!” ancam si hitam.
“Janganlah, kawan. Tak perlu korbankan nyawamu demi hal yang sepele ini,” si putih mencoba menenangkan.
“Biarkan saja. Lebih baik kita temui guru di padepokanmu,” lanjut si hitam.
BACA JUGA: Demi Sepotong Nyawa
Sesampainya, di sana.
“Guru, guru, guru” panggil si putih.
“Iya silahkan masuk, dan duduklah. Ada apa si putih?” tanya guru itu.
“Begini guru, teman saya mengajak saya bertaruh. Ia mengatakan bahwa 6×6 adalah 37. Dan ia mengancam akan memenggal kepalanya jika jawabannya salah. Padahal saya sudah melarangnya, namun ia tetap bersikukuh. Sedangkan, jawaban yang tepat adalah 36. Bagaimana ini guru?” penjelasan si putih.
“Sudahlah, yang kita ingin tanyakan adalah berapa hasil dari 6×6?” si hitam memotong pembicaraan.
“6×6 adalah 37, muridku,” jawaban dari sang guru yang memancing kemarahan si putih.
“Apa? Bagaimana mungkin 6×6 adalah 37? Padahal aku mempelajarinya dengan baik, bahwa 6×6 adalah 36, seperti yang pernah guru sampaikan. Guru membohongi aku< aku sangat kecewa. Baiklah kalau begitu aku akan pergi dari padepokan ini, dan tidak akan kembali lagi. Guru mengkhianati aku” kekesalan si putih atas jawaban yang diterimanya.
“Baiklah, muridku jika itu permintaanmu. Pergilah. Tapi tolong dengarkan satu pesanku padamu. Jika di perjalanan nanti ada badai, janganlah kamu berteduh di bawa pohon beringin. Nanti kau akan ikut terbelah seperti pohon itu. Juga jangan berteduh di bawah pohon kelapa, nanti kau akan ikut tercabut seperti pohon itu,” pesan sang guru.
Dengan perasaan yang kesal si putih pergi, sementara itu si hitam sangat bahagia, bahwa ternyata ia tak bodoh. Setelah mendengar jawaban dari guru, ia dengan perasaan gembiranya meninggalkan padepokan.
Sementara, si putih terus berjalan menjauh dari padepokan itu, makin jauh. Hingga terhenti pada saat badai menghampirinya. Sesaat kemudian, ia segera mengingat pesan dari gurunya. Benar saja, ia melihat pohon beringin itu terbelah dan juga melihat pohon kelapa terangkat oleh angin yang dahsyat itu. Setelah kejadian itu, barulah ia sadar. Bahwa guru tidak akan pernah berbohong, guru tak akan mungkin berkhianat.
”Mungkin benar, 6×6 adalah 37. Lebih baik aku pulang ke padepokan” keputusan yang diambil si putih.
Sesampainya di padepokan, si putih mencari sang guru. Dan tak berapa lama, ia menemukannya.
“Maafkan, saya guru. Mungkin saya salah dalam mejawab pertanyaan si hitam. Bahwa 6×6 adalah 37, bukan 36,” si putih meminta maaf karena keegoisaannya.
“Tenanglah, nak. 6×6 memang 36,” jawaban sang guru yang berhasil membuat si putih terperanjat.
“Jadi?” dengan perasaan bingung si putih hendak meminta alasan yang pasti kepada gurunya.
“Begini, nak. Tak selamanya nilai keadilan berada di atas hitam-putih. Ada saatnya, keadilan berpihak di pihak yang salah, namun karena alasan tertentu. Lihatlah, si hitam pergi dengan wajah yang sangat gembira. Lalu, bagaimana keadaannya ketika, aku menjawab 36?” penjelasan yang memberi sedikit pencerahan atas kebingungan si putih.
BACA JUGA: Matematika Tak Ditanyakan di Akhirat?
Si putih hanya terdiam.
“Seandainya, aku mengatakan 36. Ada seorang sahabat yang akan terbunuh, apakah itu yang disebut dengan keadilan? Bukalah matamu, nak. Tidak ada nilai keadaan yang bisa membunuh persahabatan yang tulus diantara kalian. Terlebih, masalah ini hanya sepele. Seharusnya, kau lebih mampu mengendalikan emosimu. Bukan aku tak memperlakukanmu secara adil, karena jawabanmu yang menurutmu tepat itu dan memang sebenarnya ia. Namun, tidakkah kau mempedulikan sahabat yang tadi berada di sampingmu, yang nyawanya sedang terancam? Aku hanya ingin kau mengerti, apa sebenarnya makna keadilan. Bahwa, 6×6 adalah 37, dan satu diantaranya adalah satu nyawa sahabatmu yang terselamatkan.
Tepuk tangan meramaikan di akhir cerita, sempat ada sedikit keributan di awal cerita karena persoalan 6×6 itu. Namun, setelah berada di akhir cerita ternyata 37 adalah penambahan dari nyawa sahabatnya yang berhasil selamat dari hal yang sepele itu.
Ada hal yang bisa diambil kesimpulan, menurutku: dalam menyelesaikan atau pun menyimpulkan suatu hal janganlah menilai hanya dari satu sudut pandang saja, cobalah tengok ke arah lain. Siapa tau, kita yang teramat sombong dengan keputusan yangkita angggap benar itu. Tak selamanya kita salah, dan sebaliknya. Tak selamanya kita benar. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word