Oleh: Budi J Santoso
BILA selama ini pada laman-laman daring sering diposting penemuan Benua Amerika oleh orang Islam, atau isu tentang Indian Cherokee yang Muslim, yang berikut ini adalah sebuah kisah tentang Muslim di Dunia Baru (the New World/ benua Amerika awal) pada zaman kekuasaan Inkuisisi Spanyol setelah kejatuhan Spanyol Muslim kepada Ratu Isabella dan Raja Ferdinand tahun 1492. Sejak kepunahan kekuasaan Muslim di semenanjung, jumlah undang-undang yang telah diumumkan oleh penyandang mahkota Spanyol untuk menekan orang-orang Morisco (Muslim Spanyol) mengalami peningkatan; membatasi kebebasan ibadah Islam, penggunaan bahasa, pakaian dan adat istiadat Arab.
Orang-orang Morisco, bersama dengan kaum Kristen Protestan, Yahudi dan Gipsy, dilarang melakukan perjalanan ke Spanyol Baru (new Spain/ Amerika Spanyol). Perjalanan dari Eropa (Spanyol) ke benua Amerika sangat sulit. Hanya orang-orang yang mempunyai izin khusus (licencia) saja yang boleh berangkat. Yang nekat berlayar tanpa licencia diancam hukuman kerja paksa minimal 4 tahun di kapal. Bahkan pada tahun 1607, undang-undang baru melembagakan hukuman mati bagi pelayar tanpa lisensi. Peningkatan jumlah maupun “kualitas” punishment/ hukuman yang sangat banyak ini menunjukkan ruang lingkup masalahnya; bahwa sejumlah besar “imigran gelap” jelas telah menemukan cara mereka ke Amerika.
Kisah ini terdapat pada buku menarik “Historia de la villa imperial de Potosí” (Sejarah kota kekaisaran Potosi), karya Nicolás de Martínez Arzans y Vela, yang ditulis sekitar tahun 1705. Pada tahun 1561, Kapten Giorgio Zapata, yang mengaku dalam pelindungan Duke of Medinaceli dan raja muda Sisilia, tiba di Potosi, Amerika Selatan. Dia belajar pertambangan pada seorang penambang Jerman – yang mungkin telah diizinkan masuk ke Peru karena pengetahuan khususnya – menemukan lapisan perak yang sangat kaya, dan selama 10 tahun berikutnya mengembangkannya dalam usaha kemitraan dengan seseorang bernama Rodrigo Pelaez. Zapata menjadi salah satu orang terkaya di Potosí, dan salah satu yang paling dihormati.
Setelah 15 tahun berada di Potosi –tampaknya sepanjang waktu dalam kondisi dingin, tempat yang tidak ramah- Giorgio Zapata memutuskan untuk kembali ke negaranya. Dia mengucapkan selamat tinggal dan memberi hadiah kepada semua teman-temannya, serta membawa 2.000.000 keping koin perak (Spanish Dollar) dan 138 kilo (304 pon) emas murni.
Tapi bukannya berlayar ke Spanyol, Zapata pergi ke Istanbul dan mengabdikan dirinya kepada sultan Murad II. Istanbul ternyata benar-benar kota asalnya, dan nama aslinya adalah Amir Çighala. Dia memberikan bagian emas yang dibawanya dari Potosi kepada sultan yang mengangkatnya menjadi laksamana armada. Dia memiliki karir angkatan laut yang sangat sukses dan kemudian disebut sebagai gubernur Algiers.
Sementara itu, mitra lamanya Rodrigo Pelaez, telah pensiun di Spanyol. Pada tahun 1596, ketika ia berada di Cádiz menunggu kapal ke Peru, orang-orang Inggris yang dipimpin oleh Earl of Essex, merampok kota dan menangkap Pelaez. Dijual pertama kepada seorang Prancis, dan kemudian, setelah sejumlah penjualan kembali pada orang Afrika Utara, Pelaez akhirnya menemukan dirinya di Algiers, di mana ia dibeli oleh Kara Çighala, kakak mitra lamanya di Potosi. Kedua sahabat itu kembali bersatu, dan Amir Çighala menceritakan pada Pelaez bagaimana ia dengan diam-diam menjalankan ibadah agama Islam selama 15 tahun di Potosi. Dua bulan kemudian, ia mengirim teman lamanya tersebut kembali ke Spanyol sebagai orang bebas, sarat dengan emas dan hadiah lain serta surat yang ditulis dalam bahasa Spanyol yang baik “dengan beberapa frase dalam bahasa Arab,” menceritakan seluruh kisahnya.
Amir Çighala seharusnya dihubungkan dengan nama masyhur Yusuf Çighala-Zade, yang dikenal sebagai Sinan Pasha. Anak seorang Viscount dari Cicala, seorang Sisilia terkenal yang berjasa bagi Spanyol dan telah menikah dengan seorang wanita Turki, ia berjasa bagi kerajaan Ottoman dan memperoleh jabatan tinggi, menikahi dua cucu perempuan Sultan Suleyman secara berurutan. Dia menjadi admiral tinggi armada laut Ottoman pada tahun 1591 dan mengambil bagian dalam pengepungan sukses Egri di Balkan pada tahun 1596, yang tujuan utamanya adalah memastikan kontrol Ottoman atas tambang-tambang luas di wilayah tersebut. Mungkin Amir Çighala adalah adiknya.
Cerita ini menunjukkan mobilitas besar yang menjadi karakter abad 16 dan 17, dan bagaimana hambatan baik politik dan agama pada kenyataannya dapat ditembus, meskipun ada birokrasi yang rumit yang menjadi karakteristik pada dinasti Hapsburg Spanyol dan Kekaisaran Ottoman. Amir Çighala mungkin berbeda jauh dari kasus isolasi, seperti diceritakan dari sebuah sumber yang bercerita tentang 20 orang Turki yang “ditebus dari penjara oleh Sir Francis Drake di Hindia Barat” dan dipulangkan atas perintah Ratu Elizabeth I.
Jadi, perkiraan Amir Çighala, setidaknya 21 orang Turki telah berangkat ke Amerika sebelum tahun 1586. Kemungkinan ada orang lain. Sulit untuk membentuk gagasan jelas tentang jumlah orang yang terlibat, namun: hanya lima orang yang dibawa sebelum Inkuisisi di Lima selama abad ke-16 dan awal abad ke-17 yang dituduh menjadi orang-orang Muslim “rahasia”.
Di sisi lain, diperlukan kemahiran yang cukup bagi Amir Çighala, seorang Turki, yang menghabiskan 15 tahun di Peru sebagai Muslim dengan diam-diam menjalankan ibadah Islam tanpa menimbulkan kecurigaan; tugas akan jauh lebih mudah bagi Muslim asli yang dibesarkan di Spanyol. Dan menjadi aneh bahwa mode busana seperti “Tapada”, selendang panjang yang menutupi sebagian besar tubuh dan hanya menyisakan satu garis mata untuk bebas melihat, awalnya dikembangkan di Andalusia oleh perempuan Morisca untuk menghindari larangan jilbab, seharusnya menjadi pakaian modis di abad ke-16 dan abad ke-17 di Lima, Peru. []
Sumber: Kapten Giorgio Zapata, Potosi, Bolivia, Amerika Selatan, 1561M. Terjemahan bebas dari cuplikan karya Paul Lunde (Sejarawan dan Arabist, tinggal di Barrio do Santa Cruz, Seville, Spanyol)