DALAM Khutbah Jumat di sebuah kota kecil, seorang imam berbicara soal pentingnya mengatakan “Insya Allah” ketika merencanakan untuk melakukan sesuatu di masa depan.
Setelah beberapa hari, seorang pria yang juga menghadiri Khutbah Jumat tersebut akan membeli sapi dari pasar. Di perjalanan, ia bertemu dengan seorang teman yang bertanya kemana ia pergi. Dia bercerita akan membeli sapi tetapi tidak mengatakan Insya Allah pada akhirnya.
Temannya mengingatkan dia tentang materi khutbah tersebut dan mengatakan kepadanya untuk mengatakan Insya Allah. Namun, orang ini mengatakan bahwa ia memiliki uang yang ia butuhkan dan tenaga yang cuukup untuk pergi ke pasar, dengan demikian, tidak ada titik untuk mengatakan Insya Allah karena ia pasti akan membeli sapi. Dia berpikir bahwa mengatakan Insya Allah tidak akan ada bedanya.
Ketika sampai pasar, ia menemukan sapi yang sesuai dengan harapannya. Dia menawar pada penjual sapi itu dan akhirnya disepakatilah harga yang wajar. Ketika ia akan membayar sapi tersebut, ia seketika tercengang ketika ternyata uangnya hilang.
Seorang pencuri telah mencuri uangnya ketika dia berjalan di pasar yang ramai.
Penjual sapi bertanya kepadanya apakah ia akan membeli sapi atau tidak.
“Insya Allah, saya akan membelinya minggu depan,” katanya.
Ketika ia sampai di rumah, istrinya bertanya tentang sapi yang akan dibelinya.
Si lelaki menceritakan tentang bagaimana ia lupa mengatakan Insya Allah, dan juga menambahkan, “Insya Allah, saya ingin membeli sapi. Tapi Insya Allah, uang saya dicuri. Insya Allah, saya akan membelinya minggu depan.”
Istrinya menjelaskan kepadanya bahwa kita harus mengatakan Insya Allah untuk hal-hal yang belum terjadi, bukan untuk hal-hal yang sudah terjadi. Sejak saat itu dia tidak pernah lupa mengatakan “Insya Allah” lagi. []