Oleh: NS Risno
DALAM benak kita barangkali pernah terbesit sebuah pertanyaan, “Mengapa orang orang yang ingkar, kufur, bergelimang maksiat, selalu membuat kerusakan di muka bumi justru hidupnya kaya raya? Segala fasilitas dunia ada, apa yang dibutuhkan terpenuhi dan apa yang diinginkan bisa dimiliki. Mereka lebih banyak bisa merasakan kenikmatan kenikmatan dunia?”
Sementara itu orang orang beriman, taat, yang bersyukur, yang berusaha untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan Allah, hidupnya malah banyak yang kekurangan, penuh keprihatinan, harus banyak menahan diri dari keinginan keinginan menikmati kenikmatan dunia karena keinginannya tidak bisa terpenuhi.
Mengapa Allah tidak menjadikan manusia-manusia yang durhaka itu hidupnya sengsara dan menderita? Mengapa Allah tidak menjadikan orang-orang yang beriman dan yang taat saja yang menguasai perbendaharaan harta dunia?
Sejenak,mari kita simak riwayat berikut ini.
Suatu hari, Umar bin Khatab datang ke rumah Rasulullah. Waktu itu Rasulullah baru saja berbaring diatas tikar kasar sehingga meninggalkan bekas guratan tikar di tubuh beliau yang mulia. Menyaksikan hal tersebut Al Faruq pun sangat haru dan tidak kuasa menahan air matanya.
“Mengapa engkau menangis, wahai putra Khatab?” tanya Rasulullah.
“Bagaimana saya tidak menangis, kisra (Raja kisra dari Persi) dan Kaisar duduk di atas singgasana bertahtakan emas. Sementara tikar ini telah menimbulkan bekas di tubuhmu wahai Rasulullah. Padahal engkau adalah kekasih-Nya.”
Rasulullah kemudian bersabda, “Wahai Umar, sesungguhnya mereka adalah kaum yang kesenanganya disegerakan sekarang juga. Dan tidak lama lagi kesenanganya itu akan sirna. Tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia sementara kita memiliki akhirat.” (HR: Bukhari).
Dunia bukanlah tujuan akhir dan utama bagi hidup seorang muslim. Di dunia hanya sebentar sekali, orang jawa bilang, “Mung mampir ngombe.” Baca: cuma mampir minum. Kenikmatan dan kelezatan di dunia juga sesaat sekali. Ia cepat sekali sirna. Dunia bukan kampung halaman yang sebenarnya.
Yang abadi, yang selamanya adalah negeri akhirat. Kenikmatan dan kelezatan yang ada di dalamnya adalah adalah kenikmatan dan kelezatan abadi. Akhirat adalah kampung halaman yang sebenarnya. Akhiratlah tujuan akhir dan utama seorang muslim.
Karena itulah ketika kita menyaksikan orang-orang yang durhaka justru banyak mendapat dan merasakan kenikmatan dunia, tidak perlu cemburu. “Tidakkah engkau rela mereka memiliki dunia, sedang kita memiliki akhirat.” Begitu kata Nabi.
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah juga pernah bersabda, “Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walaupun hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak memberi kepada orang kafir seteguk airpun.” (HR: At Thirmidzi). Wallahu A’lam. []
Maospati, Desember 2017