AMIRULÂ Mukminin Umar bin Khaththab RAÂ mempunyai kebiasaan berkeliling di malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya dengan cara menyusuri tiap rumah rakyatnya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kemah tua yang berdiri di tengah tanah lapang. Padahal, sebelumnya belum ada kemah tersebut, lalu sang Khalifah pun mendekatinya.
Sayup-sayup terdengar rintihan wanita yang menangis karena menahan sakit. Suara itu makin jelas ketika Umar RAÂ makin dekat menuju kemah tua itu. Di depan kemah, seorang lelaki duduk dengan gelisah dan tampak jelas kegalauan di raut wajahnya.
Amirul Mukminin menyapa dan menanyakan keadaannya.
Lelaki itu menjawab, “Saya adalah orang asing yang datang dari sebuah hutan. Di dalam tenda istri saya sedang menahan sakit karena akan melahirkan anak kami. Saya berharap belas kasihan dari Amirul Mukminin. Akan tetapi, saya ragu dia akan membantu kami!”
“Izinkanlah aku membantumu!” Umar RAÂ menawarkan bantuan kepadanya.
Orang tersebut tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan Amirul Mukminin. la pun menolak mentah-mentah tawaran tersebut, “Apa yang dapat kaulakukan untuk kami? Sudahlah, uruslah urusanmu sendiri.”
Sang khalifah pun bergegas meninggalkan tempat tersebut. Bukan kesal karena penolakan tersebut. Namun, ia menuju rumah menemui istrinya, Ummu Kultsum RA, untuk meminta bantuannya. Ia berkata kepada istrinya, “Istriku, sesungguhnya Allah SWT telah membuka jalan bagimu, yaitu jalan mulia di sisi Allah SWT agar kamu mendapat peluang untuk mendapat pahala malam ini.”
“Apa maksudmu, wahai Amirul Mukminin?” tanya Ummu Kultsum RAÂ penasaran.
Umar RA menjelaskan tentang apa yang ditemuinya tadi, “Istriku, di ujung sebelah sana terdapat sebuah kemah tua yang penghuninya datang dari hutan. Di dalam kemah tersebut terdapat wanita yang menahan sakit karena hendak melahirkan. Tidak ada seorang pun yang merawatnya di sana.”
Menanggapi cerita sang suami, Ummu Kultsum RA menangkap permintaan suaminya, “Suamiku, aku bersedia merawatnya karena kewajibanku adalah menyempurnakan hasrat dan kesucian hati suamiku.”
Ummu Kultsum r.a segera mempersiapkan alat-alat yang diperlukan termasuk air hangat. Mereka berdua bergegas menuju kemah tua tersebut. Sementara itu, Ummu KultsumRA membantu persalinan sang ibu di dalam kemah, Umar RA memasakkan makanan di luar kemah untuk kedua musafir tersebut.
Suara tangisan bayi yang syahdu terdengar lembut di telinga membuncahkan kebahagiaan bagi mereka yang ada di situ. Ummu Kultsum r.a keluar dari kemah sambil menggendong si jabang bayi dan memanggil suaminya, “Wahai Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (doa keselamatan) tanda kesyukuranmu untuk saudaramu ini karena telah melahirkan anak lelaki!”
Sungguh terkejut orang tersebut ketika orang yang sedang memasak di hadapannya dipanggil Amirul Mukminin. Benar-benar ia tidak menyangka bahwa seorang Amirul Mukminin hidup dalam kebersahajaan, tidak tampak tanda-tanda kemewahan dalam penampilannya, kecuali kekayaan hatinya yang terpancar dari sikapnya sehingga bersedia dengan susah payah menolong orang miskin seperti dirinya.
Lelaki tersebut segera meminta maaf sambil berterima kasih. Umar RA menjawab, “Tidak usah sungkan, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu.”
Umar RA menyodorkan makanan yang baru dimasaknya kepada lelaki tersebut dan kepada Ummu RA untuk dibawa ke dalam kemah dan disuguhkan kepada istri lelaki itu.
Setelah semua tertangani, Umar RA beserta istri berpamitan seraya berkata, “Datanglah menemuiku besok, insya Allah, aku akan menolongmu.”[]