Oleh: M. Agussalim Nur (nursal260898@gmail.com)
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yoyakarta
NABI Muhammad ﷺ lahir dan tumbuh berkembang di wilayah Arab Saudi, di tempat yang dihuni oleh bangsa Arab. Sementara, kondisi bangsa Arab sebelum Muhammad diutus menjadi nabi sangatlah memprihatinkan.
Nabi Muhammad ﷺ diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, seperti dalam hadits yang artinya: “Aku diutus tak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.“ (HR. Bukhari).
Bangsa Arab yang dulu dikenal sebagai kaum Jahiliyah sering melakukan perbuatan keji dan mungkar seperti minum minuman keras, judi, merampok, merampas serta mencegat kafilah-kafilah dagang, berzina, melakukan tindakan penganiayaan terhadap budak yang mereka miliki, membunuh anak mereka yang baru baru lahir, dan lain sebagainya. Maka dari itu, hal ini menjadi tugas Nabi Muhammad ﷺ untuk memperbaiki akhlak Bangsa Arab pada masa itu.
Pada masa itu, bangsa Arab menganggap bahwa perempuan itu sangat rendah derajatnya dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari sikap orang-orang Arab yang membunuh anak-anak perempuan mereka dengan cara menguburnya hidup-hidup.
Hal ini dilakukan karena menjadi aib bagi mereka apabila anak yang dilahirkan oleh istrinya berjenis kelamin perempuan. Apabila anak perempuannya sudah dikubur, maka tenanglah perasaan sang ayah seolah-olah baru saja terhindar dari suatu musibah besar yang hampir menimpanya.
Akibat dari hal tersebut jumlah perempuan lebih sedikit dari jumlah laki-laki. Maka pada zaman itu perempuan boleh menikah dengan laki-laki lebih dari satu (Poliandri).
Seorang perempuan boleh digauli oleh banyak laki-laki dan apabila sang perempuan sudah hamil, maka perempuan boleh memilih laki-laki mana yang akan menjadi ayah dari anak yang dilahirkannya.
Kedudukan wanita pada waktu itu sangat terhiina di kalangan bangsa Arab. Mereka dapat diwarisi seperti benda atau binatang ternak. (Abul Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwi,1989).
Seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (janda), maka sang anak diperbolehkan untuk mengawini ibunya. Ini menunjukkan bahwa seakan-akan perempuan paa masa pra islam di Arab bagaikan benda berupa barang, harta, atau binatang ternak yang dapat diwariskan.
Hal lain yang menunjukkan bahwa perempuan dianggap rendah derajatnya dibandingkan dengan kaum pria yaitu, perempuan tidak diterima kesaksiannya dalam suatu urusan, perempuan yang haid diasingkan dari rumah sampai masa menstruasinya selesai.
Perempuan juga dibatasi dalam hal berorganisasi di luar rumah, mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang kaum laki-laki sering lakukan.
Pelacuran pada masa arab pra-islam juga kerap terjadi. Banyak perempuan yang menjual dirinya kepada orang lain guna untuk memuaskan nafsu birahi para pria bejat. Hal yang harusnya perempuan pada masa itu wajib untuk dilindungi dan tutupi menjadi hal yang mereka pertontonkan dan dipasarkan bagaikan barang dagangan.
Dalam hal urusan rumah tangga, suami berhak mentalak istrinya istrinya apabila dia sudah bosan dan kembali mencampuri istrinya apabila ia ingin melakukan hal tersebut seenaknya. Para suami juga sering menceritakan kepada orang lain tentang hubungan seksualnya dengan istrinya seakan-akan sebagai kebanggaan tersendri bagi mereka apabila menceritakan hal tersebut.
Dari beberapa hal diatas, dapat dikatakan bahwa perempuan sangatlah rendah derajatnya dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan dianggap sebagai aib, dijadikan barang dagangan yang dapat diperjual-belikan dan ditawar.
Namun, setelah diutusnya Muhammad sebagai rasul, hal-hal tersebut diubah dan diperbaiki. Hal itu dapat diketahui dari banyaknya dalil yang bersumber dari al-Qur’an dan hadis yang menyatakan tentang persamaan derajat dari perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, dapat dilihat pada surah an-Nisa ayat 124: yang artinya“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS. An-Nisa [4]: 124).
Dari ayat di atas, dapat diketahui bahwa islam sudah mengangkat derajat perempuan setingkat dengan derajat laki-laki. Yang membedakan bukan dari sisi jenis kelamin maupun perempuan melainkan tingkat ketaqwaan mereka kepada Allah SWT, sebagaimana firmanNya yang artinya:“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurât [49]: 13).
Bahkan ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa derajat seorang perempuan itu tiga kali lipat dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sebagai ibu. Rasulullah bersabda: “Siapakah orang yang paling berhak untuk aku gauli dengan baik?” beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya, “Lalu siapa?” beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Nabi menjawab, “ayahmu.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Dari dalil di atas dapat dikatakan bahwa derajat perempuan lebih tinggi dari pada derajat laki-laki. Karena itu, perempuan wajib dihormani tiga kali dari pada laki-laki.
Kesimpulannya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesamaan hak dan kewajiban, meskipun ada beberapa hal yang perempuan tidak bisa lakukan dan laki-laki bisa lakukan, begitupun sebaliknya.Yang membedakan derajat antara laki-laki dan perempuan adalah tingkat ketakwaaannya. Islam sudah jauh mengangkat derajat perempuan. Bisa dikatakan bahwa dalam agama lain tidak ada yang menyamai bahkan melebihi keistimewaan perempuan selain dalam agama islam. Wallahualam. []
Referensi:
Ridha, Muhammad. (2010). Sirah Nabawiah. Bandung: Baitus Salam.
Nadwy, A. H. (1989). Sirah An Nabawiah. Bina Ilmu.