DINAMIKA beragama akhir-akhir terasa sangat mengkhawatirkan, berbeda pandangan sedikit saja di judge kafir oleh sekelompok orang yang juga beragama islam. Apalagi dengan banyaknya gerakan-gerakan radikal baru, semakin menambah kekhawatiran kita dalam beragama dengan tentram dan damai.
Sehingga bisa dikatakan bahwa Islam yang rahmatan lil alamin sebagaimana yang dikemukakan dalam al-quran hanya terlihat sebagai teks yang tidak pernah nyata keberadaannya meskipun semua kelompok islam di manapun mengakui hal itu. Tapi nyatanya, islam hari ini tampil dominan dengan ekspresinya yang jahat, suka bertikai dengan kelompok yang tidak sepaham dan tidak saling menghargai perbedaan.
Munculnya kelompok-kelompok intoleran dalam tubuh umat islam sendiri adalah faktor utama kekhawatiran itu muncul, meskipun dalam semua tindakannya atas nama islam, namun tindakan tersebut tidaklah se-islam yang dikatakan bahkan jauh dari kata islam. Kebanggan atas persepsi bahwa sayalah yang paling islam, saya yang oaling rahmatan lil alamin dibandingkan dengan semua kelompok islam lainnya menjadikan mereka dengan semena-mena menindas orang lain yang tidak sejalan dengan dirinya. Dalihnya pun beragam, baik itu umpatan kafir, pengikut wahabi, pendukung syi’ah, anti Pancasila dan masih banyak lagi.
Sehingga perpecahan antar kelompok sangat rentan terjadi, karena adanya perilaku-perilaku yang notabenenya lahir dari ketidakmampuan sebagaian umat islam untuk menghargai perbedaan, baik paham maupun metode dakwah yang dilakoni. Dengan begitu, dialog tidak lagi menjadi cara yang ditempuh, melainkan dengan sorakan kata-kata kafir dan kepalan tangan yang siap menghujam kepada siapapun yang mereka anggap tidak sepaham dengan kelompoknya itu.
Pertanyaan pertama, Di manakah posisi islam yang kita cita-citakan itu?
Semua umat islam mencita-citakan islam yang rahmatan lil alamin, artinya islam yang mampu menebar kasih sayang, perdamaian dan ketentraman bagi semua manusia tanpa harus memperhatikan siapa dana agama apa yang dianutnya. Bagi siapapun dan bagi agama apapun, islam akan tetap hadir sebagaimana yang telah diwahyukan Allah kepada Muhammad SAW.
Namun persoalannya adalah, masih banyak saudara kita yang gagal paham terhadap makna islam yang rahmatan lil alamin ini. Gagal paham inilah yang membuat mereka ngawur dalam ber-islam. Ini tidak lepas dari fanatisme yang berujung pada ketidakmampuan umat islam dalam menampilkan islam yang rahmatan lil alamin tadi.
Hanya saja, ketika melihat realita yang terjadi, banyak dari umat islam sendiri tidak memahami implementasi dari ajaran toleransi tersebut, salah satu yang bisa kita lihat adalah kasus pembubaran ceramah yang pernah diselenggarakan oleh Ust. Khalid Basamalah oleh kelompok yang tidak sepakat dengan kegiatan tersebut dengan dalih paham agama yang dimiliki menganut paham Wahabi.
Tidak hanya itu, beberapa waktu di Bali juga muncul kelompok yang serupa, di mana kajian Ust. Abdul Somad terancam untuk dibubarkan karena dianggap tidak mengindahkan Pancasila sebagai ideologi negara. Padahal, sebagaimana informasi yang ada, Ust. Abdul Somad adalah salah seorang penceramah yang aktif berceramah di banyak tempat, bahkan ceramahnya sering diupload di You Tube. Pembubaran ini untungnya tidak terjadi karena adanya support langsung dari pihak berwajib dan kolektifitas dari masyarakat setempat untuk melindungi.
Dua tokoh agama di atas adalah tokoh yang secara signifikan memiliki perbedaan yang khas, ke-khasan keduanya bisa dilihat dari pandangan keagamaan yang selama ini disampaikan, Ust. Khalid biasanya menyampaiakan islam dengan khas salaf, yang menekankan pada teks dari ajaran islam. Sedangkan Ust. Abdul Somad lebih mengalir dalam menyampaikan ceramah, sering menggunakan pandangan para ulama terdahulu dan mengaitkan pada konteks yang ada saat ini.
Jika melihat perbedaanya, tentu dengan gampang kita menilai keduanya. Hanya saja yang terpenting untuk kita bahas bersama adalah mengapa keduanya mendapat perlakuan yang sama?.
Jika ditinjau ulang, keduanya adalah tokoh agama yang memiliki popularitas yang luar biasa di masyarakat. Bayangkan saja ketika melakukan pengajian, jamaah yang datang selalu berlimpah. Faktor inilah yang menjadi atribut utama mengapa dalam situasi tertentu kedua tokoh agama yang sering kita lihat di media sosial dibubarkan kajiannya dengan alasan wahabi atau tidak pro terhadap NKRI. Kalah populer, banyak tokoh-tokoh agam terdahulu hilang popularitasnya karena kedua orang ini. Sehingga hal itulah faktor yang saya lihat selama ini, yang menjadi alasan tersembunyi dari munculnya gerakan-gerakan radikal yang mengatas namakan islam (ahlussunnah wal jama’ah).
Tidak hanya popularitas, perbedaan paham yang sangat tajam yang implikasinya pada munculnya perilaku fanatik dalam beragama juga adalah hal yang sampai saat ini belum mampu disikapi dengan dewasa oleh sebagian umat islam. Pertikaian-pertikaian ini terjadi pun tidaklah baru-baru ini terjadi, tapi sudah lama dan bertahan hingga sekarang. Bahkan pertikaian ini tidak hanya terjadi secara individu saja, tapi juga kelembagaan. Kita bisa melihat bagaimana kalangan muda dari NU dan Muhammadiyah yang bertikai karena adanya perbedaan paham yang dianut dalam memaknai ajaran islam (Mirza T. Kusuma, Ketika Makkah Seperti Las Vegas).
NU lebih berpandangan bahwa islam dan budaya harus tampil secara bersamaan, tradisi-tradisi lama tidak harus ditinggal tapi dimodifikasi agar sesuai dengan islam, seperti tahlilan, pembacaan talqin dan haul. Bagi anak Muhammadiyah, kesan yang muncul jika islam tampil dengan bersanding dengan tradisi atau budaya akan kental dengan praktik-praktik bid’ah yang dalam internal Muhammadiyah adalah hal yang harus dimusnahkan. Muhammadiyah lebih bersepakat jika islam harus benar-benar murni dari praktik bid’ah sebagaimana yang dilakukan oleh NU.
Membumikan Islam yang Rahmatan Lil Alamin
Ber-Islam tidaklah hanya sekadar tauhid semata, tapi juga etika dalam berinteraksi dengan orang lain baik sesama islam maupun yang tidak. Di Indonesia, kita hampir melihat setiap hari menyaksikan pertikaian antara sesama umat islam sendiri hanya karena persoalan berbeda pendapat dalam menafsirkan ajaran islam.
Kita mungkin sering mendengar cerita KH. Hasyim Muzadi ketika mengisi kajian. Beliau sering bercerita tentang anak muda NU dan Muhammadiyah pada jaman dahulu selalu bertengkar hanya karena persoalan qunut yang dilakukan saat salat subuh.karena perbedaan inilah anak-anak muda Nu dan Muhammadiyah bergantian untuk shalat ketika berada di masjid yang sama. Tapi itu dulu kata Kiai Muzadi, sekarang anak muda NU dan Muhammadiyah tidak lagi bertengkar karena persoalan qunut, karena mereka sudah sama-sama tidak lagi mendirikan salat subuh.
Hikmah yang bisa diambil dalam cerita ini adalah bahwa betapa etika kita sebagai seorang muslim masih dangkal, khususnya dengan sesama umat islam dalam hal menghargai pilihan dalam praktik beragama. Bagaimana dengan yang tidak seiman dengan kita? Mungkin lebih memprihatinkan. Padahal kita telah sama-sama menyadari bahwa perbedaan tersebut adalah perihal yang lumrah terjadi, sehingga bukanlah sesuatu yang subtantif untuk diperdebatkan lagi.
Dewasa ini, pertikaian antar kelompok atau organisasi yang sering terjadi adalah contoh ketidakmampuan umat islam dalam menghargai perbedaan satu sama lain. Dampaknya adalah, lahir kelompok-kelompok radikal yang bertujuan untuk menumpas perbedaan tersebut agar semuanya sama. Persepsi bahwa ‘saya yang paling benar soal agama’ inilah kita sangat enteng menyalahkan orang lain karena berbeda dengan yang kita lakukan. Artinya perbedaan paham yang terjadi di tubuh umat islam selalu disikapi dengan permusuhan yang mengakibatkan perpecahan di tubuh umat islam itu sendiri.
Oleh karena itu, sangat penting bagi umat islam untuk membangun sikap keterbukaan dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan paham yang terjadi di kalangan umat islam. Dua sikap ini merupakan hal yang harus dimiliki oleh umat islam untuk mencapai islam yang telah dicita-citakan. Keterbukaan adalah bagaimana kita mampu untuk saling memahami perbedaan yang ada di dalam tubuh umat islam itu sendiri.
Hal ini jugalah yang diajarkan kepada kita sebagai umat islam tentang pentingnya li ta’rafuu (agar saling mengenal). Keterbukaan inilah nantinya akan menghantarkan kita pada sikap untuk saling menghargai satu dengan yang lain, tanpa harus menghujat sana-sini, yang berbeda dengan kita dinilai kafir dan semacamnya hanya karena paham kita berbeda dengan yang lainnya.
Selanjutnya adalah kedewasaan, hal ini menjadi penting agar dalam menyikapi sebuah perbedaan kita tidak dengan sikap reaksioner, tapi dengan sikap yang bijak dan tidak mengedepankan sikap fanatisme yang implikasinya negative bagi perilaku kita dalam beragama. Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim adalah dua ulama yang harus kita contoh, bagaimana mereka mampu rukun di dalam perbedaan jalan dakwahnya masing-masing. Lebih jauh lagi, Imam Syafi’i yang sangat menghargai pandangan imam Malik sehingga rela untuk tidak melakukan qunut ketika mengimami shalat di tengah-tengah murid imam Malik.
Tugas utama kita sebagai umat islam saat ini adalah membangun persatuan yang bertujuan untuk menyemai keindahan dalam berislam. Islam harus tampil dengan wajah yang damai, anggun dan merangkul semua golongan. Sikap fanatisme dalam beragama harus dibuang jauh-jauh dan mulai untuk memupuk sikap terbuka dan dewasa dalam memaknai perbedaan. Dengan begitu, islam yang rahmatan lil alamin yang kita cita-citakan akan hadir di tengah-tengah umat manusia. []
Biodata Diri
Nur Alim MA, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang saat ini juga aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Malang Raya. Kegiatan sehari-hari adalah Menulis dan berdiskusi di organisasi. Beberapa tulisan yang pernah diterbitkan yaitu, Sadarkan Pemerintah tentang Sila Kelima (Malang-Post), Muhammadiyah dan Nu Membangun Bangsa (Qureta.com), Kyai Dahlan, Nalar Altruisme dan Gerakan Filantropi (Buletin Nurani PSIF UMM) dan Kiai dan Politik Praktis (Koran Jakarta).
Nomor HP. 085330863821
Email : alimpsikologi@gmail.com
Kirim ide/gagasan Anda sebagai mahasiswa lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.