Oleh: Nadyya Rahma Azhari
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
azharinadyya26@gmail.com
ISLAM sebagai agama samawi yang sumber ajarannya langsung dari Allah SWT tentunya memiliki ajaran yang berbeda dari agama lain. Bagi umat Islam sendiri, merealisasikan ajaran dalam kehidupan sehari-hari merupakan perkara wajib.
Maka wajar pada masa awal kedatangannya Islam mengalami gesekan dengan budaya setempat. Pergesekan ini awalnya tentu mendapatkan pertentangan, namun lama kelamaan akulturasi pun terjadi. Nilai-nilai ke-Islaman pun mulai diselipkan dalam berbagai kebudayaan sebagai tahap akulturasi yang kemudian disebut Islamisasi.
Juga sebaliknya nilai-nilai budaya pun juga dimasukkan dalam tradisi ke-Islaman sehingga membentuk asimilasi agama dan budaya tersendiri yang khas pada setiap daerahnya.
Salah satu Islamisasi yang terjadi pada masa awal ke-Islaman adalah pada tradisi masyrakat Madinah. Salah satu dari imam mazhab yang empat bahkan menjadikan tradisi masyarakat madinah sebagai salah satu sumber Islam.
Kebudayaan masyarakat Madinah ini kemudian dijadikan landasan penetapan hukum mempertimbangkan pada lamanya waktu menetap Nabi Muhammad ﷺ di kota tersebut. Tradisi yang digunakan pun merupakan tradisi yang didiamkan oleh Nabi, dengan kata lain tradisi ini tidak ditentang keberadaannya. Ini merupakan salah satu bentuk Islamisasi pada masa awal Islam.
Sama halnya dengan masyarakat Madinah, masyarakat Minangkabau pun mengalami Islamisasi dalam kebudayaannya. Hal ini dibuktikan dengan pepatah minang yang sangat terkenal bahkan menjadi salah satu pepatah penting dalam budaya Minangkabau. “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai” (Penghulu, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau, 1994) yang memiliki arti “Adat berasas kepada syariat, syariat berasas kepada kitab Allah (alqur’an), apabila syariat telah menetapkan (sesuatu) maka diaplikasikan dalam adat.”
Keberadaan pepatah tersebut sebagai salah satu asas penting dalam budaya Minangkabau mencerminkan dengan jelas bahwa ajaran Islam memiliki pengaruh besar dalam perkembangan kebudayaan di Minangkabau. H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Panghulu dalam buku ‘Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau’ menjelaskan bahwa banyak sekali petah-petitih Minang yang bersesuaian dengan ajaran Islam. Mulai dari budi pekerti dalam Minangkabau sampai ketentuan suatu nagari merupakan hal-hal yang bersesuaian dengan ajaran Islam.
Satu hal penting dalam adat Minangkabau yang menjadi sorotan adalah sistem adat yang menganut tradisi matriakhal atau matrilinial (garis keturunan ibu). Sistem yang mengambil garis keturunan dari kaum ibu ini memberikan ruang atau kekhususan tersendiri kepada perempuan Minang. Membuktikan hal ini, Idrus Hakimy kembali mengutip pepatah tentang bundo kanduang dalam bukunya:
Bundo Kanduang, limpapeh rumah nan gadang
Bundo kanduang adalah tiang rumah gadang
Umbun puro pegangan kunci
Umbun pura pegangan kunci
Hiasan di dalam kampuang
Hiasan di dalam kampung
Sumarak dalam nagari
Semarak dalam negeri
Nan gadang basa batuah
Yang dewasa banyak bertuah
Kok iduik tampek banasa
Kalau hidup tempat bernazar
Kalau mati tampek baniat
Kalau mati tempat berniat
Ka undang-undang ka Madinah
Untuk undang-undang ke Madinah
Ka payuang panji ka sarugo
Untuk ganti payung ke surga
(Penghulu, Rangkaian Mustika Adat Basandi syarak di Minangkabau, 1994)
Pepatah tersebut menjelaskan arti penting perempuan dalam Minangkabau yang menggunakan istilah Bundo Kanduang yang secara harfiah memiliki arti Ibu sejati, maksudnya seorang perempuan sejati yang memiliki sifat keibuan dan kepemimpinan. Bundo kanduang sebagai golongan wanita adalah pengantara keturunan yang harus memelihara diri serta mendudukkan diri sendiri dengan aturan adat basandi syarak.
Ia harus pandai membedakan yang baik dan buruk dalam membentuk dan menentukan watak manusia dalam melanjutkan keturunan. (Penghulu, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau, 1994) Keberadaan Bundo kanduang sebagai salah satu titik sorot adat menjadikan seorang perempuan Minang harus mampu menjaga dirinya dalam bentuk apa pun. Mulai dari cara makan, berjalan, bertutur, sampai berpakaian.
Bundo kanduang sumarak dalam nagari memiliki cakupan arti yang sangat luas. Di samping sebagai simbol kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam nagari, penggalan pepatah tersebut juga mengandung arti bahwa seorang perempuan perlu mengamalkan rasa malu terhadap kaum laki-laki dan senantiasa menjaga kesopanan di dalam bergaul sehingga menjadi tugas yang sangat penting bagi seotang wanita di Minangkabau untuk menjaga nama baik dan martabat kaum wanita.
Dalam salah satu upaya menjaga sikap malu dalam pergaulan, seorang perempuan Minang harus menjaga cara berpakaiannya. (Penghulu, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabau, 1994). []
Bersambung