BEBERAPA menit lalu, aku membaca sebuah tulisan sederhana seorang penulis ternama berjudul ‘Hargai Mereka’. Maksud dari tulisan tersebut bukan hal baru buatku. Seruan mengenai bagaimana harusnya kita bisa menghargai orang-orang dengan usaha mereka yang menurut kita ‘biasa’ saja.
Mengajak kita untuk bisa membuka hati, bahwa pekerjaan yang mereka lakoni bukan untuk disepelekan. Tukang ojek misal, barangkali pernah di antara kita merasa seperti majikan nyuruh angkatin barang bawaan (kadang tanpa kata ‘tolong’) hanya karena merasa kita sudah membayar jasanya.
Contoh lain yang paling sering kita jumpai, ini juga sebagai pengingat bagi penulis, saat berbelanja di pasar. Ketika asyik memilah milih sayuran terkadang kita juga sering menawar terlalu jauh. Sayuran itu dijual dengan untung yang tipis, belum lagi bila mulai layu, maka dengan berat hati si penjual merelakan dagangannya dengan harga modal asal sayuran tetap dibeli juga mengurangi tumpukan dagangannya.
Tulisan si penulis ternama tadi juga mengingatkan pada kejadian tadi siang. Saat di tempat kerja, sepi job dan udara cukup panas. Aku sendiri tergoda untuk cabut pulang karena terserang rasa bosan diikuti kantuk. Datanglah seorang lelaki menjajakan kerupuk kemasan. Orang ini sudah sering lewat dan menawarkan dagangannya. Jujur, setiap kali beliau menawarkan kami (aku dan rekan kerja) sering menolak. Alasannya sederhana, karena kerupuk mudah didapat apalagi di warung jadi rasanya tidak begitu menyulitkan bila ingin membeli.
“Bu, beli kerupuknya ya?” tawarnya dari depan pintu.
Kantukku sedikit lenyap saat beliau memberanikan diri masuk kantor.
“Berapa sebungkusnya, Bang?”
“Lima ribu aja, Bu. Ini asli dari Palembang, beda dengan kerupuk ikan di sini.”
“Gak bisa sepuluh ribu dapat tiga bungkus?”
Kucoba menawar barangkali dikabulkan.
“Kalau segitu gak bisa, Bu. Tapi bila beli lima bungkus boleh deh dua puluh ribu.”
Aku ingat, uang dalam tas tinggal sepuluh ribu. Rasanya berat juga membeli kerupuk itu karena uang tersebut tinggal satu-satunya.
“Boleh gak nih?”
Niatnya bila gak dikasi mau ditolak aja, gak jadi beli.
“Janganlah, Bu. Saya belum buka dasar. Dari pagi saya udah keliling, belum ada yang beli. Belilah, Bu, barang sebungkus juga gak apa-apa,” pintanya dengan wajah memelas.
Rasanya kasihan juga melihat beliau. Sejak pagi belum ada yang laku. Cuaca yang cukup panas, jarang sekali orang mau makan kerupuk.
“Ya sudah, aku beli dua bungkus.”
“Alhamdulillah. Makasih ya, Bu, semoga jadi pembuka rezeki dagangan saya.”
“Abang asli orang sini?” tanyaku basa basi.
“Gak, Bu. Saya merantau.”
“Merantau hanya jualan kerupuk ini?!” tanyaku setengah kurang yakin.
“Iya, Bu. Mau gimana lagi, daripada saya ngemis.”
Ah, kalimatnya sungguh menyadarkan. Pertama, aku diajak untuk mensyukuri nikmat pekerjaan yang Allah amanahkan saat ini. Kedua, kalimat terakhirnya menampar supaya menjadi orang yang punya harga diri. Dengan melakukan usaha, setidaknya di mata masyarakat dirinya bisa dihargai karena mau menggunakan tenaga dalam mencari nafkah.
Setelah mengucapkan terima kasih, beliau pamit melanjutkan ikhtiarnya. Sekelebat, aku melihat binar bahagia di wajahnya. Aku semakin yakin, hanya kebahagiaan yang bila dibagi jumlahnya bertambah. Beliau bahagia, aku turut bahagia karena sudah membuatnya merasa lega. Riya? Bukan. Semoga tujuan tulisan ini sampai, niatnya untuk mengajak. Betapa mudahnya mencari bahagia. Di antaranya ada di sekitar kita. Misal orang kecil dengan usaha sederhananya. Kita bisa menghargai usaha tersebut. Cukup membuat mereka merasa dihormati dan menimbulkan kebahagiaan bersama.
Selain itu, Allah berjanji akan melepaskan kesulitan kita bila menolong orang lain. Selepas kepergian tukang kerupuk itu, job pun datang untukku, rezeki berlipat langsung Allah bayar tunai. Lantas, masih sungkan dalam syukur nikmat? #TanyaHati []
Asahan, 06-09-2016
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.Â