Oleh : R. Marfu Muhyiddin Ilyas, MA
SALAH seorang santri sebuah pesantren melontarkan jawaban berikut ketika diajak belajar Matematika. “Buat apa belajar Matematika, di akhirat nggak akan ditanya tentang itu!” Dan ketika ia balik mengajak temannya untuk mempelajari Al-Qur’an, serentak dijawab, “Nggak ah, Aku kan bukan calon kyai.”
Fragmen di atas sejatinya menggambarkan permasalahan pendidikan di negeri ini. Dualisme dan sekulerisme, itulah pesan yang dapat ditangkap dari dialog tersebut mengenai permasalahan pendidikan yang masih kita hadapi. Ilmu telah dipilah menjadi ilmu dunia dan akhirat, agama dan umum, Islam dan non-Islam. Dualisme ini kemudian melembaga menjadi institusi pendidikan agama dan umum, pesantren dan sekolah.
Disadari atau tidak, orientasi keilmuan dan pendidikan ini pula lah sesungguhnya yang berperan menumbuhkan kepribadian siswa yang terbelah (split personality), orientasi hidup yang konsumtif, materialis, dan hedonis di kalangan siswa, dan sikap beragama yang kaku, anti perubahan, dan anti modernitas sehingga tidak bisa mengimbangi perkembangan zaman.
Dalam konteks seperti itu, integrasi ilmu menjadi sebuah konsep yang patut dirujuk dan dijadikan solusi. Dengan integrasi ilmu ini, semua ilmu dipandang sebagai ilmu Allah (ilmu yang bersumber dari Allah) dan harus menjadi jalan mengenal kebesaran Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya. Maka, semua disiplin menjadi penting untuk dipelajari. Pada akhirnya semua ilmu (baca: mata pelajaran) akan berbaur dan berpadu menjadi kesatuan yang utuh dan bulat mengarah pada satu tujuan puncak yaitu tauhid dan ma’rifat. Mengesakan dan mengenal Allah. Tauhid dan Ma’rifatullah.
Sikap dualisme dan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan sebenarnya tidak didukung oleh tradisi dan khazanah pesantren. Sebaliknya, sebagai lembaga pendidikan dengan kajian kitab kuning atau referensi klasik ilmu-ilmu keislaman (turats) sebagai ciri khasnya, integrasi ilmu seharusnya bukan konsep asing bagi dunia pesantren. Klasifikasi ilmu yang dilakukan para ulama terdahulu sangat mendukung konsep ini.
Sebagai contoh, pernyataan Imam An-Nawawi dalam pendahuluan Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, dan Imam Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim Thariq At-ta’allum, yang mengklasifikasi ilmu ke dalam dua kategori, yaitu fardlu ain dan fardlu kifayah mengandung pesan bahwa semua ilmu –kecuali yang secara tegas diharamkan melalui dalil- adalah fardlu alias wajib dipelajari. Karena semua ilmu adalah jalan untuk menuju terpenuhinya sebuah kewajiban dasar muslim, yaitu mengenal Allah swt.
Perbedaannya hanya terletak pada beban kewajiban tersebut.
Ilmu yang dihukumi fardlu ain maka kewajiban mempelajarinya menjadi tugas dan tanggung jawab setiap individu muslim. Sedangkan ilmu dalam kelompok fardlu kifayah, kewajiban mempelajarinya menjadi tugas dan tanggung jawab kolektif, masyarakat muslim di setiap tempat. Umumnya ilmu ini berkaitan dengan kemaslahatan hidup masyarakat. Termasuk dalam kelompok ini adalah ilmu-ilmu terapan dalam bidang tekonologi, pengobatan, dan sains. Pengabaian terhadap ilmu-ilmu ini sehingga tidak ada satu pun yang menguasainya berakibat dosa bagi seluruh masyarakat muslim di tempat tersebut.
Tentang ilmu-ilmu dalam kelompok fardlu kifayah, An-Nawawi bahkan memberikan catatan bahwa mempelajarinya lebih utama daripada ilmu yang fardlu ain. Sebab dengan mempelajari ilmu fardlu kifayah seperti dalam sains dan tekonologi, seseorang berarti telah menyelamatkan masyarakatnya dari dosa.
Inilah salah satu khazanah pesantren yang menjadi pijakan kuat bagi integrasi ilmu. Dengan demikian, integrasi ilmu seharusnya menjadi sikap dan pilihan seluruh lembaga pendidikan Islam. Sehingga, kita tak akan pernah lagi mendengar bahwa Matematika tak akan ditanyakan di akhirat, sebagai apologi ketidaksukaan atau ketidakmampuan dalam memahami ilmu-ilmu Allah SWT yang terhampar di alam semesta ini. Jika memang tidak suka atau tidak bisa, ahsan kita mengambil sikap seperti Rasul dalam beberapa hal tertentu, diam jika tak menyukainya. Allahu alam. []