NABI Muhammad SAW adalah manusia biasa seperti kita. Beliau bisa sedih, gembira, kesal dan sebagainya. Beliau juga harus makan, minum, istirahat, hingga melampiaskan hasrat seksualnya sehingga harus menikah. Dalam hal-hal tertentu, beliau juga punya pertimbangan sebagai pribadi dan hal itu boleh saja selama tidak mengabaikan prinsip kebenaran.
Dalam konteks dakwah, setiap kita ingin agar semakin banyak orang yang menerimanya, apalagi bila orang-orang yang berpengaruh di tengah-tengah masyarakat. Bila seorang tokoh berpengaruh masuk Islam, akan banyak orang yang mengikutinya.
Rasulullah SAW sebagai manusia biasa juga memiliki perimbangan seperti itu. Maka, ketika beliau sedang berdakwah kepada para tokoh Quraisy, tiba-tiba datang seorang sahabat yang kedudukannya biasa-biasa saja, bahkan matanya juga buta. Bisa jadi, Rasulullah saw merasa terganggu atas kehadirannya yang datang untuk meminta nasihat dan petunjuk, karenanya beliau sampai bermuka masam.
Sikap Rasulullah saw yang demikian tidak baik, maka Allah swt menyampaikan teguran dengan turunnya surat Abasa: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.” (QS Abasa [80]:1-11)
Secara harfiyah, dakwah artinya mengajak, menyeru dan memanggil. Dakwah berarti mengajak, menyeru dan memanggil manusia agar beriman dan taat kepada Allah swt. Dakwah bukan untuk membangun fanatisme kelompok apalagi sekadar membangun rasa simpati dan pengkultusan kepada sang dai, sama sekali tidak demikian.
Karena itu, dari kisah di atas yang menjadi sebab turunnya surat Abasa, dakwah itu terbuka untuk siapa saja. Lalu, kepada siapa dakwah ditujukan?. Paling tidak kepada tiga kelompok.
Pertama, Kafir Agar Muslim. Dalam bahasa Arab, kufur berarti menutupi. Kufur adalah menutup hati dan pikiran dari menerima kebenaran yang datang dari Allah swt, mengingkari makna syahadat adalah kufur, mengingkar bagian vital ajaran Islam yang diharamkan seperti riba atau apa yang diwajibkan seperti shalat adalah kufur, mengingkari salah satu hukum pidana Islam seperti hukum bagi pencuri, penzina dan lainnya adalah kufur dan seterusnya.
Orang yang kufur disebut kafir. Ketika manusia tidak beriman kepada Allah swt dengan segala ajaran yang diturunkannya, maka ia disebut kafir, sedangkan ketika seseorang sudah beriman atau menjadi muslim tapi meragukan Allah swt sebagai Tuhan dan meragukan kebenaran Islam lalu keluar dari Islam atau yang sering disebut dengan murtad, maka orang itu berarti kafir. Orang kafir seperti itulah yang dipastikan masuk ke neraka, Allah swt berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al Bayyinah [98]:6).
Kepada orang kafir, dakwah harus kita lakukan agar mereka masuk Islam, sebagaimana orang kafir itu juga mendakwahkan agamanya kepada orang Islam sehingga orang Islampun menjadi kafir mengikuti mereka. Tentu saja dakwah kepada orang kafir dengan memmbuka dialog sebaik mungkin agar tidak timbul salah paham, apalagi sampai terjadi permusuhan.
Kedua, Muslim Yang Durhaka Agar Taat. Banyak orang sudah menyatakan diri menjadi muslim atau sudah menjadi muslim sejak mereka lahir karena orang tuanya muslim, namun belum menunjukkan ketaatan kepada Allah swt, bahkan mendurhakai-Nya, bukan hanya tidak melaksanakan apa yang diperintah, tapi justru melakukan apa yang dilarang, hingga mempengaruhi orang lain agar tidak menaati Allah swt, inilah yang namanya muslim yang durhaka kepada Allah swt.
Hakikat dakwah adalah mengubah manusia dari keadaan yang apa adanya kepada yang seharusnya. Dengan dakwah diharapkan orang awam menjadi paham, orang benci pada kebaikan menjadi cinta, orang bakhil menjadi dermawan, orang malas menjadi rajin, orang yang bermusuhan menjadi bersahabat dan bersaudara, begitulah seterusnya.
Dari pemahaman seperti ini, kita menyadari betapa masih begitu banyak orang yang belum menunjukkan ketaatan kepada Allah swt sehingga dakwah amat diperlukan dan harus dilakukan dengan berbagai pendekatan yang baik sesuai dengan kondisi sang mad’u (objek dakwah).
Ketiga, Muslim Yang Taat Agar Istiqamah. Ketika seorang muslim telah menunjukkan ketaatan, sifat yang harus dimiliki adalah istiqamah atau terus menerus dalam ketaatan, apapun kendala yang dihadapin serta bagaimanapun situasi dan kondisi yang terjadi.
Bila sifat ini sudah dimiliki, seorang muslim tidak dilanda oleh perasaan takut untuk membuktikan nilai-nilai keimanan dan tidak akan berduka cita bila mengalami resiko yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi dari keimanannya itu, apalagi surga merupakan janji Allah swt, hal ini terdapat dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhanku Allah kemudian mereka istiqamah, maka mereka tidak ada rasa takut dan tidak berduka cita (QS Al Ahqaf [46]:13).
Karena itu, dari beberapa ayat surat Abasa di atas, pelajaran yang dapat kita ambil adalah. setiap dai harus melayani siapa saja yang meminta pesan-pesan dakwah, ia tidak boleh pilih-pilih tempat untuk berdakwah, apalagi sekadar pertimbangan duniawi seperti lebih mengutamakan dakwah kepada kalangan elit daripada orang biasa.
Hikmah lainnya adalah setiap orang, terutama yang sudah menjadi muslim, seharusnya lebih aktif untuk memahami dan mendalami ajaran Islam, ia aktif menghadiri majelis ilmu hingga meminta nasihat dan bertanya kepada orang yang ahli, begitulah yang dicontohkan oleh Abdullah bin Ummi Maktum. []
Drs. H. Ahmad Yani, Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Dakwah (LPPD) Khairu Ummah