PAGI ini, untuk kesekian kali diriku diminta menemani istriku berbelanja. Kebetulan setiap akhir pekan selalu ada waktu yang kuluangkan untuk memenuhi keinginannya, seperti rekreasi atau sekadar membeli kebutuhan rumah tangga ke supermarket. Istriku termasuk selektif saat membeli produk, contohnya saat membeli pakaian, lebih suka di plaza karena barangnya dianggap mengikuti perkembangan mode meskipun harganya sedikit lebih mahal. Begitu juga saat membeli kebutuhan dapur, lebih suka toko serba ada semisal Indomaret, Alfamart, atau Giant karena lebih berkualitas.
Aku tak pernah mempersoalkan hal tersebut, selagi penghasilan mencukupi tentu kebijakan seorang istri harus didukung selama menyaran maksud kebaikan.
“Ma, hari ini mau belanja di mana?”
“Mau ke bazar buku, kalau beli buku kan tidak menyangkut perut dan tidak pula kita kenakan seperti halnya pakaian jadi tidak dilihat orang lain. Walaupun murah, tak masalah yang penting isi di dalamnya.”
Sejujurnya diriku kurang sependapat dengan pernyataan istriku, tetapi berhubung sedang di jalan, diriku menahan diri untuk tidak menyanggah. Hal ini kubudayakan, apabila ada perbedaan pendapat baiknya dimusyawarahkan di rumah. Takutnya kalau sampai berselisih paham di pinggir jalan kemudian dilihat orang lain justru akan menimbulkan malu.
Sesampainya di bazar buku, istriku mulai berburu buku-buku yang diinginkannya. Uniknya setiap buku yang dibeli, langsung ditawar. Tidak tanggung-tanggung menawarnya kadangkala lebih dari setengah harga jual. Sampai ada beberapa penjual yang menggelengkan kepala. Hebatnya buku-buku itu ada beberapa yang berhasil dibeli, melihat ini diriku baru sadar istriku punya bakat terpendam dalam hal menawar sebuah produk. Hingga sampailah kami di tempat penjualan buku-buku Agama.
“Pak, Al-Qur’an ini berapa harganya?”
“Seratus lima puluh dua ribu rupiah, Bu?”
“Mahal sekali, tujuh puluh ribu ya?”
“Wah, tidak bisa Bu. Di toko-toko buku harganya juga seratusan ribu.”
“Kalau itu juga tahu, tapi ini kan lagi bazar. Pastinya diskon, kalau tidak, ya tidak ada bedanya dengan di toko buku. Udah harga pasnya berapa?”
“Seratus dua puluh ribu saja, Bu. Itu sudah murah.”
“Masih mahal, sudah lain kali saja kalau begitu.”
Astagfirullahhaladzim, diriku berkali-kali mengucap istigfar dalam batin. Ingin rasanya diriku menegur istriku pada saat itu juga, tetapi kutahan diri karena sadar dalam keadaan marah.
Setelah berbelanja sekian lama, akhirnya sampailah kami di rumah. Selepas menunaikan ibadah shalat Dzuhur, kupanggil istriku untuk bermusyawarah.
“MA, boleh minta waktunya sebentar. Ada yang perlu Papa sampaikan.”
“Ada apa? Tumben, serius begitu. Adakah hal yang penting?”
“Maaf, tadi sewaktu di bazar buku, Mama begitu lihai menawar, sampai setengah harga. Rasanya itu kurang bijaksana.”
“Kurang bijaksana bagaimana, Pa? Mama hanya ingin mengirit pengeluaran, apa salahnya?”
“Betul, tujuannnya baik. Kalau untuk buku-buku umum, tidak masalah. Tetapi saat Mama menawar Al-Qur’an bahkan sudah dikurangi harga tetapi tidak jadi membeli itu menyakiti hati Papa.”
Istriku menatap wajahku dengan serius.
“Menyakiti hati Papa bagaimana?”
“Al-Qur’an itu kitab suci yang merupakan penuntun kita dalam berkehidupan. Bahkan saat kita wafat, di alam kubur akan ditanya, ‘Man Imamuka? Siapa imammu?’ lalu dijawab ‘Al-Qur’an Imami. Al-Qur’an Imamku ‘ betul atau tidak?”
Istriku hanya menganggukkan kepala. Kemudian diriku melanjutkan pembicaraan.
“Jika demikian, mengapa untuk membeli Al-Qur’an yang harganya sudah turun pada akhirnya dibatalkan? Padahal, saat Mama belanja pakaian, kebutuhan dapur tidak pernah menawar di supermaket. Jika alasannya kualitas, lalu adakah Al-Qur’an tidak berkualitas sehingga harus ditawar? Padahal sudah jelas, Al-Qur’an merupakan mukjizat Allah Subhana Wa Ta’ala yang kandungannya tidak tertandingi oleh seluruh karya umat manusia.”
“Maafkan, Mama. Sungguh, Mama tidak bermasud demikian.”
“Mintalah maaf kepada Allah, bermohon ampunan-Nya. Satu lagi, tadi saat di jalan Mama juga berkata kalau beli buku kan tidak menyangkut perut dan tidak pula kita kenakan seperti halnya pakaian jadi tidak dilihat orang lain. Walaupun murah, tak masalah yang penting isi di dalamnya. Jika kita hanya dipandang karena tampilan luar, sementara hati kita begitu rendahnya menilai keutamaan ilmu apa yang patut kita banggakan kepada Allah? Semoga Mama belajar banyak dari kejadian pada hari ini, Papa juga akan melakukan pendampingan untuk memohon ampunan atas kesalahan yang sudah Mama lakukan.”
Kupeluk istriku, air matanya terjatuh. Sungguh, diriku sebenarnya tak tega menyakiti perasaannya. Hanya saja, tindakannya memang kuanggap melamapaui batas. Sedangkan diriku pemimpin dalam keluarga, sudah kewajibanku untuk menjadikannya sebagai makmum rumah tangga yang selalu menuju jalan kebaikan atas izin-Nya. []
Arief Siddiq Razaan, 02 Desember 2015