BAITUL Maqdis tinggal menghitung hari untuk dikuasai pasukan salib di bawah pimpinan Godfrey de Bouillon. Kondisi Muslimin jauh dari ideal untuk menghadapi kekuatan penyerbu itu. Para penguasa Islam, sebagaimana ditulis para sejarawan Muslim sendiri, banyak teralihkan ke persoalan kekuasaan yang digenggamannya. Mereka sibuk menghadapi tentangan dan tantangan dari saudara seimannya yang juga mengincar kekuasaan. Soalan lain, ruh jihad terkabuti keinginan keduniaan.
Maka, ancaman di depan mata yang sudah tidak perlu disangsikan pun bukannya segera disikapi dengan konsolidasi, namun justru dengan meributkan hal-hal tidak penting. Khalifah Abbasiyah dan para sultan yang di bawahnya bukannya tak peduli dalam urusan menghadapi pasukan Godfrey. Cuma energi mereka terbagi; belum lagi kadar motivasi dan teladan dari penguasa.
Sebagai sesama saudara seiman, rakyat Baghdad merasakan betul berita yang dibawakan utusan dari Syam, qadi Abu Sa’ad al-Harawi. Qadi al-Harawi menceritakan di hadapan para pejabat dan rakyat Baghdad bagaimana kekejaman pasukan salib dan derita yang ditanggung Muslimin. Seketika banyak orang yang meneteskan air mata, bersedih atas keadaan rakyat Syam dan sekitarnya.
Khalifah sendiri memerintahkan jajaran anak buahnya untuk menghadapi pasukan salib. Tapi seberapa serius? Majid Irsan Kaylani dalam karyanya, Hakadza Jil Shalahiddin Wahakadza ‘Adat al-Quds, mengutipkan episode yang sesiapa saja bikin terenyuh.
Kala dihadapkan ke Khalifah al-Mustazhhir beberapa tengkorak, rambut Muslimah dan anak-anak, cekatan kaget tidak disertai putusan bijak.
“Tinggalkan saya menguruskan sesuatu lebih penting daripada ini!” titah Khalifah pada para menterinya.
“Burung merpati saya yang berwarna belang-belang (hitam-putih) telah pergi tiga hari yang lalu dan sampai sekarang saya belum melihatnya,” lanjut ujar Khalifah.
Burung kesayangan Khalifah dan permainan burung memang ketika itu tengah digandrungi Muslimin, khususnya kalangan berada. Kita tak bisa membayangkan bagaimana wajah utusan dari Syams dan sekitarnya ketika mengadu pada Khalifah. Pun para Muslimin yang masih memiliki hati begitu mendengar jawaban beliau tadi.
Kisah yang dituliskan al-Kaylani tadi bersumberkan dari salah satu kitab yang dibacanya, antara karya Ibnu Taghri Bardi, Ibn al-Jauzi, ataukah Sabth ibn Jauzi. Sebuah episode yang menumpukkan air mata Muslimin di tengah ancaman kilatan pedang musuh Allah.
Imam as-Suyuthi sendiri dalam Tarikh Khulafa’ menyebut Khalifah al-Mustazhhir sosok yang lembut lagi berilmu. Entah karena tekanan batin atau kecintaan pada permainan dunia berupa merpati eksotik, Khalifah lalai. Konflik para bawahan, sultan seljuk mungkin pula memusingkan kepalanya hingga mengalihkan tanggung jawabnya dari memelihara urusan Muslimin dengan sekuat tenaga.
Alhasil, seperti diterangkan dalam sejarah, Baitul Maqdis direbut pasukan salib. Jangan tanya siksaan yang diakibatkan mereka pada Muslimin. Kiranya bantuan dari Khalifah dan para sultan Seljuk, juga bantuan dari daulah Ubaidiyah di Mesir, hadir beruntun. Tapi ini belum mencerminkan persatuan dan kepaduan kekuatan Islam. Ia hanya bongkahan di atas kecintaan para penguasa pada dunia. Sehingga beban agama ditepikan dan baru ditunaikan ketika mendesak. Sayang, waktu sudah berakhir manakala lawan sudah menginjakkan kaki di bumi Muslimin. []