Oleh: Ahmad Afandi
Mahasiswa Perbankan Syariah Universitas Potensi Utama Medan
AGAMA Islam mengajarkan setiap umatnya untuk senantiasa berusaha dalam mengarungi kehidupan yang penuh cobaan. Agama Islam menuntut setiap manusia untuk selalu berusaha dan bekerja. Refleksi ini setidaknya sudah bisa kita lihat pada zaman Rasulullah SAW. Di mana Rasulullah SAW sudah mengenal dunia perdagangan sejak umur 12 tahun.
Pada saat itu beliau (Nabi Muhammad) mengikuti panutan dari pamannya, Abu Thalib. Barulah ketika Nabi mencapai usia remaja, pada umur 25 tahun, Nabi Muhammad melanjutkan berdagang secara individu.
Kala itu, semua pedagang muslim menerapkan sistem kejujuran yang luar biasa dalam praktik dagangnya. Memang, orientasi dagang ialah memperoleh keuntungan (uang). Akan tetapi pada masa Rasulullah, semua sahabat muslim Nabi tidak pernah berbuat curang. Orientasinya sedikit bergeser. Dari uang sebagai tujuan pokok menjadi sifat saling tolong menolong. Sayangnya kini sisa dari prinsip dagang Islam tak lagi terlihat. Bayang-bayang memperoleh keuntungan yang besarlah yang terpampang. Uang seakan menjadi tolak ukur dan motivasi bagi setiap orang.
Bagi umat Islam, seruan menjadi seseorang yang kaya tedapat dalam ayat Alquran. Allah Swt berfirman: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya.” (QS. Al-Hijr [15]:19-20).
Pada ayat ini dijelaskan Allah memberi kemudahan bagi siapa saja umat Islam ingin memanfaatkan hasil bumi untuk mendapatkan uang. Allah telah membuka jalan bagi siapa saja yang ingin berusaha. Allah sangat menganjurkan setiap muslim untuk berusaha untuk mempertahankan hidupnya dengan cara yang halal.
Begitu pula seruan Allah tentang larangan muslim untuk lemah melalui hadis Nabi. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.” Hadis riwayat Muslim (no. 2664).
Hadis tersebut sangat jelas menegaskan, setiap muslim dilarang menjadi lemah. Kajian lemah pada hakikatnya menyeluruh. Lemah disini tidak hanya menyoal fisik. Akan tetapi lebih dari sekedar kekuatan fisik. Pendidikan, ekonomi, hubungan silaturahmi, politik, serta keilmuan menjadi hal mendasar merotasi artian dari kata lemah. Umat muslim dituntut untuk kuat akan keilmuan. Baik pendidikan yang bersifat formal maupun autodidak untuk mendapatkan pola dari bakat yang dimiliki. Begitu juga dengan cakupan ekonomi.
Allah melarang umat Islam lemah akan ekonomi. Lantas, bukan berarti kita harus menyalahkan takdir karena terlahir menjadi orang miskin. Rujukannya kepada bagaimana umat Islam dapat mempertahankan hidupnya di tengah pergolakan ekonomi nasional.
Semakin berkembangnya tahun, sudah dipastikan semua kebutuhan ekonomi akan melambung tinggi. Persiapan dari segi fisik dan psikislah yang menjadi kajian dari agama Islam. Bagaimana umat Islam mampu bergerak maju menghadapi kondisi ekonomi. Fisik untuk senantiasa bekerja dengan keteguhan mencari rejeki di jalan Allah. Dan psikis yang senantiasa terus berjuang sembari membekali diri dengan keilmuan serta sarana menuju pekerjaan yang lebih baik. Rasulullah SAW juga mengajarkan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran.
Mencari harta sama dengan ibadah
Sudah barang tentu uang beserta harta yang diinginkan oleh umat Islam sudi kiranya harus bersumber dari jalan yang halal. Salah satu hadis Nabi menjelaskan “Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.” (Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib 2/150 no. 1730).
Ketika urusan rejeki dipegang kendali oleh keserakahan, hasil yang didapat juga akan tidak berkah. Orang-orang yang berurusan dengan perihal yang haram sudah dipastikan hidupnya tidaklah akan tenang. Ambisi secara sporadis menguasai hati dan diri umat Islam.
Itu sebabnya istilah kufur nikmat menjadi cibiran pertama kali. Orang miskin cenderung ingin berusaha melepaskan belenggu kesusahan dirinya dengan cara apa saja. Asal mendapatkan uang entah itu dari mana saja, tidak akan diperdulikan. Yang jelas keperluan yang mendesak menjadi tolak ukur setiap usaha yang dilakukan padahal seharusnya, ridho Allah ta’ala terlebih dahulu yang harus dikejar. Kufur artinya sama dengan kafir. Menyekutukan Allah demi suatu tujuan. Begitupun dalam hal memperoleh kekayaan. Kufur mendekati kesesatan. Sementara sesat membuka jurang seseorang menjadi seorang murtad sejati. Di negara ini masih saja ada perihal paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh sebab itu, kiranya diperlukan pemikiran yang sehat untuk memilih jalan dari penggarapan rezeki dari Allah SWT. Larangan setiap muslim menjadi lemah akan baik jika bersanding dengan upaya bekerja dengan cara yang halal. Hanya mengenal sistem syariah dengan aturan tidak boleh melenceng dari nominal upah yang didapat. Jangan sampai terlena degan pesona uang dan kemewahan untuk memutarbalikkan seruan menjadi kaya dengan cara-cara kotor yang bisa dilakukan.
Satu hal yang paling berkesan ketika seorang muslim dalam posisi kesusahan. Sesungguhnya harta yang kita miliki menjadi cobaan paling berat bagi hidup umat Islam. Setelah mendapatkan hasil kemudian mendapatkan cobaan, baik berhubungan dengan materi maupun sebuah bencana, setiap umat Islam dituntut untuk bersabar. Berbaik sangka dengan jalan Allah SWT. Tidak dituntut untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi perlu menikmati proses bersabar. Meminta ampun agar Allah melapangkan jalan yang terang. Di saat proses bersabat benar-benar merajai tubuh umat Islam, pahala yang besar dari Allah akan senantiasa terus mengalir.
Seruan menjadi kaya dalam Islam sering menimbulkan spekulasi bagi orang-orang tamak kekuasaan. Rakus akan harta. Padahal, uang tidak bisa dijadikan pedoman untuk sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan yang hakiki adalah keberkahan hidup. Bagaimana kita berpengaruh bagi setiap orang. Setiap kita adalah pemberi manfaat bagi sesama umat Islam. Uang tidak menjamin kebahagiaan sebesar apapun. Ketika anda membutuhkan jasa tukang service, jika Anda punya uang banyak akan tetapi semua menolak karna berbagai alasan. Uang yang Anda miliki selayaknya sampah yang tidak berarti. Kebahagiaan hanyalah milik hati yang lapang. Memacu semangat memperoleh pundi-pundi rupiah dengan kontrol koridor kewaspadaan yang tinggi agar tidak terjerumus ke dalam lembah dosa. []