Oleh: Arya Jagad Pamungkas
aryajagadp@gmail.com
MADINAH hari-hari sendu dengan rona langit yang berwarna kelabu. Kota tempat Sang Nabi SAW mengistirahatkan raganya itu mendadak menjadi riuh karena kedatangan sosok yang sudah lama pergi dari kota Madinah. Ia adalah Bilal íbn Rabbah.
Dengan langkah gontai, Bilal langsung masuk ke masjid Nabawi dan menuju ke makam Sang Nabi SAW. Di sana ia tak kuasa menahan bulir-bulir air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Umar ibn Khattab yang saat itu sudah menjadi khalifah bergegas-gegas menuju Masjid Nabawi ketika mendengar kedatangan Bilal, langkahnya diikuti Hassan dan Hussain, kakak-beradik kesayangan Sang Nabi.
“Apa yang membawamu ke sini, duhai muadzin Rasulullah?” tanya Umar memecah isak tangis Bilal yang lebih dulu pecah.
“Mimpi”, jawab Bilal dengan nada tersengal-sengal, “Rasulullah mendatangiku dalam mimpi, ia menanyakan mengapa aku tak kunjung mengunjunginya di Madinah.” Nada Bilal masih sedu sedan. Alasan Bilal meninggalkan kota Madinah pasca Nabi SAW wafat memang karena ia tak kuasa menahan kesedihan ditinggal sosok yang sangat dicintainya. Meninggalkan Madinah akan sedikit mengurangi kesedihannya.
“Duhai paman, betapa kami juga merindukan kedatanganmu kembali di sini” ujar Hassan.
“Maukah paman mengumandangkan adzan kembali seperti ketika kakek masih hidup?” Hussain menimpali,
Permintaan Hussain juga disetujui Umar ibn Khattab. “Wahai Bilal, kumandangkanlah adzan kembali seperti dulu, ketika Rasulullah masih bersama kita,” sambung Umar.
Bilal pun memenuhi permintaan mereka. Ketika waktu shalat tiba, ia naik ke tempat yang dulu sering mengumandangkan adzan. Ketika suara Bilal menyelimuti kota Madinah, masing-masing yang hadir pada saat itu mengingat masa-masa indah bersama Sang Nabi SAW. Riuh isak tangis pun mengikuti suara adzan.
“Jangan lupakan kami dalam doamu, duhai saudara tersayang,” ucapan Rasulullah mengiang-ngiang di dalam kepala Umar ibn Khattab. Ucapan yang Rasul berikan ketika Umar berpamitan untuk menunaikan umrah.
“Tiada bahayakan ‘Utsman apapun yang ia lakukan setelah ini,” Utsman mengingat-ingat perkataan Rasulullah ketika perang Tabuk. Pundaknyapun berguncang karena tangisan,
“Hanyasanya kedudukanmu di sisiku laksana Harun di sisi Musa, tapi tiada Nabi sesudahku,” Ali ibn Abi Thalib pun mengingat kenangan bersama Rasulullah dengan rona mata memerah karena banyaknya air mata yang menggenang.
Ketika Bilal sampai di kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullaaah”, pecah tangis penduduk Madinah, Umar paling kuat isak tangisnya di antara mereka, Bilal pun tak sanggup meneruskan karena dadanya sudah tak sanggup lagi menahan haru.
Itulah rindu. Rindu itu berat kata Dilan, tetapi rindu yang seperti apa dulu?
Madinah hari-hari penuh berkah, Rasulullah sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya di pelataran masjid Nabawi, tiba-tiba beliau berujar, “Aku ini rindu sekali dengan saudara-saudaraku.”
Sahabat bertanya, “Duhai kekasih Allah, siapa yang engkau rindukan, bukankah kami ini saudara-saudaramu?”
Nabi menjawab, “Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedang saudara yang aku maksud adalah mereka yang belum pernah bertemu denganku, akan tetapi beriman dan mempercayaiku.”
Kelak dua rasa rindu ini akan berjumpa di akhirat. Rasa rindu Sang Nabi kepada umatnya, dan rindu umat kepada Nabinya. Rindu itu memang berat jika diarahkan kepada sosok yang tepat, dan sosok itu adalah Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.