AZAN merupakan sebuah panggilan yang lazim dikumandangkan ketika waktu shalat sudah tiba. Namun, ternyata ada beberapa waktu dan kondisi dimana azan juga dikumandangkan selain pada waktu shalat. Bolehkah?
Mengenai kapan, bagaimana dan apa dalilnya, berikut ini ulasannya:
1. Azan ditelinga bayi yang baru lahir.
Mengumandangkan azan dan iqamah di telinga bayi yang baru lahir memang lazim dilakukan oleh umat muslim, khususnya di Indonesia. Hal ini seolah sudah menjadi tradisi. Dalil hadis tentang hal ini memang ada. Namun, hadis-hadis tersebut semuanya lemah, bahkan ada yang sangat lemah.
2. Ketika melihat jin atau merasakan suatu yang aneh (menakutkan).
Dalil hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait masalah ini juga ada, namun lemah.
Adapun anjuran azan ketika melihat jin atau merasakan suatu yang menakutkan dinukil dari Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu, Abu Shalih Dzakwan (w.101H) dan Zayd bin Aslam (w.136H) rahimahumallah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Fudhail Adh-Dhabbiy dalam kitabnya Ad-Du’aa no.119, bahwasanya cerita tentang makhluk aneh (yang bisa berubah wujud sejenis jin) disebutkan di sisi Umar, maka beliau bekata, “Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang mampu berubah dari wujud yang Allah ciptakan padanya, akan tetapi mereka punya tukang sihir sebagaimana tukang sihir kalian (dari kalangan manusia), maka jika kalian melihat suatu hal yang demikian (makluk berubah wujud) maka azan-lah”. [Sanadnya shahih]
Demikian juga diriwayatakan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya 1/291 no.389, Suhail bin Abi Shalih berkata, “Bapakku telah mengutusku kepada Bani Haritsah, saya pergi bersama budak kami -atau sahabat kami-. Lalu seorang memanggilnya dari suatu kebun dengan menyebut namanya. Maka orang yang bersamaku itu memeriksa kebun tersebut, namun dia tidak melihat sesuatu pun, maka aku menceritakan hal itu kepada bapakku, maka dia berkata, ‘Kalau saya merasa bahwa kamu akan menemui hal seperti ini, niscaya aku tidak akan mengutusmu, akan tetapi apabila kamu mendengar suara (aneh), maka kumandangkanlah azan untuk shalat, karena aku mendengar Abu Hurairah menceritakan dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setan, apabila seorang muazin mengumandangkan azan shalat, maka dia berpaling, dan dia memiliki kentut’.”
Selain itu, diriwayatkan dari Imam Malik, beliau berkata, “Zayd bin Aslam ditugaskan pada wilayah pertambangan Bani Sulaim, dan pada pertambangan tersebut orang-orang sering diganggu dari kalangan jin. Maka mereka mengadukannya kepada Zayd bin Aslam, lalu ia memerintahkan mereka untuk mengumandangkan azan dengan mengeraskan suara mereka. Kemudian mereka melakukannya maka gangguan tersebut berhenti, dan mereka demikian sampai hari ini.
Imam Malik berkata, “Dan saya kagum dengan pendapat Zayd bin Aslam ini.” (Syu’ab Al-Iman karya Al-Baihaqiy, semua perawinya tsiqah)
3. Azan di telinga hewan dan manusia yang bersifat buruk.
Dalilnya adalah sebuah hadis yang disebutkan oleh Imam Al-Gazaliy rahimahullah dalam Ihyaa Ulumiddin 2/219:
“Jika seorang dari kalian merasa kesulitan menghadapi hewannya, atau akhlak istrinya buruk, atau seorang dari keluarganya, maka azanlah di telinganya”.
Hadits ini dilemahkan oleh syekh Albaniy rahimahullah dalam silsilah Adh-Dhaifah 1/130 no.52.
Hadits ini juga disebutkan oleh As-Subkiy rahimahullah dalam kumpulan hadits-hadits Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Gazaliy yang tidak ia dapatkan sanadnya. (Thabaqaat Asy-Syafi’iyah Al-Kubraa 6/319)
Adapun Al-‘iraqiy dalam Tharh At-Tatsriib (2/203) merajihkan bahwa hadits Abu Hurairah khusus untuk azan waktu shalat.
Namun jika menjadikan hadits Abu Hurairah di atas bersifat umum bahwa setan lari ketika mendengar azan sekalipun bukan waktu shalat, dan sikap seseorang atau hewan menjadi buruk karena ada setannya, maka riwayat yang dinukil dari Umar, Abu Shalih, dan Zayd bin Aslam sepertinya bisa dijadikan hujjah.
4. Azan di telinga orang yang sedang bersedih atau banyak pikiran.
Diriwayatkan oleh Ad-Dailamiy, sebagaimana disebutkan oleh As-Suyuthiy dalam Jami’ Al-Ahadits 30/363 no.33359, Ibnu Al-Jazariy dalam Manaqib Ali bin Abi Thalib no.54, dan Al-Fadaniy dalam Al-‘ajalah fi al-ahadits al-musalsalah hal.84.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihatku bersedih, kemudian bertanya, ‘Wahai Ali, aku melihatmu bersedih?’ Ali menjawab, ‘Demikianlah wahai Rasulullah!’ Rasulullah bersabda, ‘Maka perintahkanlah salah seorang keluargamu untuk azan di telingamu, krn itu adalah obat’ Ali berkata, ‘Kemudian aku melakukannya, maka kesusahan hatiku itu hilang dariku.”
Sanad hadits ini sangat lemah, karena ada 2 rawinya yang dianggap tidak tsiqah.
5. Azan ketika ada kebakaran.
Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah dalam kitab “Tuhfatul Minhaaj fii Syarh Al-Minhaaj” 1/461, beliau berkata, “Dan disunnatkan juga azan untuk selain keperluan memanggil shalat, sebagaimana ber-azan pada telinga anak yang baru lahir, pada telinga orang yang sedang berduka cita, orang yang ayan (sakit sawan) atau kesurupan, orang yang sedang marah, orang yang jahat akhlaknya, dan binatang yang liar atau buas, ketika perajurit bertempur, ketika terjadi kebakaran, ada yang mengatakan: Ketika menurunkan mayat ke dalam kuburnya dengan mengiaskan azan saat baru keluar ke dunia, dan aku telah membantahnya dalam “Syarh Al-‘Ubab”. Dan ketika jin-jin memperlihatkan rupanya yakni bergolaknya kejahatan jin karena ada hadits shahih tentangnya, dan azan serta iqamat di balakang orang yang musafir.”
Akan tetapi hadits anjuran takbir kerika ada kebakaran derajatnya lemah bahwa kebanyakan sangat lemah.
Sedangkan, Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Takbir bisa memadamkan kebakaran, karena penyebabnya adalah api yang darinya setan diciptakan, api bisa menyebabkan kerusakan yang besar sama seperti setan, maka ia membantu mengobarkan api. Tabiat api selalu ingin membesar dan merusak di muka bumi sama seperti setan, dan keagungan dan kebesaran Allah menekan semua itu. Oleh sebab itu takbir mampu memadamkan api dan mengusir setan karena tidak ada yang bisa menandingi kekuasaan dan kebesaran Allah ‘azza wa jalla.”
Ibnu Qayyim juga berkata, “Kami dan yang lainnya telah mencobanya dan ternyata benar demikian.” (Zaad al-ma’ad” 4/212). []