SUNGGUH indahnya Islam. Urusan kecil pun diaturnya sedemikian rupa. Apalagi urusan besar semisal hubungan suami istri.
Ada begitu banyak keterangan dalam hadist bagaimana Islam mengatur soal tempat tidur. Seorang suami, disebutkan dalam salah satunya tidak boleh mendatangi istrinya, lewat jalan belakang. Nah setidaknya, ada 7 hal yang harus diperhatikan oleh suami istri Muslim dalam hal ini.
PERTAMA
Di dalam kitab fiqih Al-fiqhul Islami Wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Disebutkan bahwa: Sebelum melakukan jima’, pasangan suami istri itu membaca basmalah. Atau membaca surat Al-Ikhlas (Qul Huwallahu ahad). Juga disunnahkan untuk bertakbir, mengucapkan laa ilaaha illallah, serta mengucapkan doa (pilih salah satu): “Bismillahil ‘aliyyil ‘azhim. Allahummaj’al-ha dzurriyyatan thayyibah. In kunta Qaddarta an takhruja dzalika min shulbi.” (Dengan nama Allah Yang Maha Tinggi dan Agung. Ya Allah, jadikanlah dia keturunan yang baik, jika Engkau menetapkannya keluar dari sulbiku.)
“Allahumma jannibnisy syaithana wa jannibisy syaithana maa razaqtani,” (HR Abu Daud). (Artinya: Ya Allah, jauhkanlah aku dari syetan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau rizqikan kepadaku).
KEDUA
Tidak menghadap kiblat, sebagai bentuk penghormatan kepada ka’bah yang mulia. Mengenakan sesuatu menutupi tubuhnya. Sebagaimana hadits berikut ini: “Dari ‘Atabah bin Abdi As-Sulami bahwa apabila kalian mendatangi istrinya (berjima’), maka hendaklah menggunakan penutup dan janganlah telanjang seperti dua ekor himar,” (HR Ibnu Majah).
KETIGA
Dimulai dengan mula’abah (percumbuan), berpelukan atau mencium. Bila telah selesai, janganlah terburu-buru untuk menyudahinya. Karena boleh jadi masing-masing tidak sama waktunya. Dimakruhkan untuk memperbanyak percakapan pada saat sedang melakukannya. Dan sebaiknya tidak meninggalkannya lebih dari 4 hari tanpa udzur. Bila hendak mengulangi lagi, hendaklah mencuci farajnya (kemaluan) dan berwudhu’ lagi. Sebab dengan demikian, bisa memberikan kekuatan baru. Tidak disunnahkan untuk melakukannya pada hari-hari tertentu seperti Senin atau Jumat. Meski memang ada sebagian ulama yang mengajurkannya di hari Jumat.
KEEMPAT
Haram melakukan jima’ di dubur: Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Dilaknat orang yang menyetubuhi wanita di duburnya,” (HR Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai). Dari Amru bin Syu’aib berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang menyetubuhi wanita di duburnya sama dengan melakukan liwath (sodomi) kecil,” (HR Ahmad).
KELIMA
Haram melakukan jima’ dengan istri yang sedang mendapat haidh. Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
KEENAM
Apabila bercumbu tidak sampai jima’, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga:
Pertama, hukumnya tetap haram walau sekedar bercumbu saja. Alasannya untuk mencegah bila sampai terjadi jima’ yang sebenarnya. Mereka mendasarkannya sebagai langkah saddan lidz-dzari’ah, atau tindakan preventif.
Kedua, membolehkan percumbuan asal tidak sampai kepada jima’. Dasarnya adalah hadits berikut ini. Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang laki-laki yang mencumbui istrinya saat haidh, “Lakukan segala sesuatu kecuali nikah/jima’. (HR Jamaah kecuali Bukhari – Nailul Authar)
Ketiga, boleh buat orang tua tapi haram buat pemuda. Atau boleh buat mereka yang mampu menahan gejolak syahwat tapi haram bagi mereka yang tidak mampu menahannya.
KETUJUH
Dibolehkan melakukan ‘azl asalkan atas seizin istrinya. Azl itu adalah mencabut kemaluan sesaat sebelum terjadinya ejakulasi, agar tidak sampai terjadi pembuahan. Praktek ini terjadi di masa shahabat di mana Rasulullah SAW mengetahuinya, dan beliau mendiamkannya. Para ulama membolehkan hukum ‘azl ini, sebab pada prinsipnya memang tidak ada larangan untuk itu. Asalkan istri rela menerimanya.
Dari Jabir berkata, “Kami melakukan ‘azl di masa Nabi saw sedang Al-Qur’an turun,” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Jabir berkata: “Kami melakukan ’azl di masa Rasulullah saw, dan Rasul mendengarnya tetapi tidak melarangnya,” (HR muslim).
Namun Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah serta beberapa ulama lainnya memakruhkan ‘azl, lantaran Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa ‘azl itu termasuk pembunuhan yang tersembunyi. Namun Imam Al-Ghazali memandang bahwa ‘azl itu dibolehkan bila memang ada alasannya, seperti banyak anak dan sebagainya.
Atas dasar kebolehan melakukan ‘azl inilah para ulama membolehkan pasangan suami istri meminum obat penunda kehamilan (kontrasepsi), asalkan bersifat temporal. Namun bila bersifat terus menerus, mereka mengharamkannya. Allahu alam bishawwab. []