“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 185)
AJARAN Islam membawa kemudahan kepada umatnya, termasuk dalam syariat puasa.
Pada ayat yang sama, Allah SWT berfirman:
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesungguhnya diberikan keringanan bagi kalian untuk tidak berpuasa ketika sakit dan saat bersafar. Namun puasa ini wajib bagi yang mukim dan sehat. Itu semua adalah kemudahan dan rahmat Allah bagi kalian.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 59)
Nah, apa saja sih keringanan dalam syariat ibadah puasa yang dianjarkan Islam? Inilah 7 kemudahan puasa dalam ajaran Islam.
Kemudahan pertama: Bagi orang sakit boleh ambil keringanan tidak berpuasa jika berat berpuasa.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Kemudahan kedua: Bagi musafir jika berat dalam safar boleh ambil keringanan tidak berpuasa.
Kalau berpuasa itu berat saat safar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk tidak berpuasa.
Jabir radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar.” (HR. Bukhari, no. 1946 dan Muslim, no. 1115)
Namun kalau safar tersebut penuh kemudahan misal perjalanan yang hanya sebentar dengan pesawat (misal: Jogja – Jakarta, ditempuh hanya 1 jam perjalanan dengan pesawat), maka baiknya tetap berpuasa karena lebih cepat terlepas dari kewajiban.
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.” (HR. Bukhari, no. 1945 dan Muslim, no. 1122)
Namun kalau kondisi sudah super berat saat safar yaitu bisa celaka bahkan binasa, malah jadi tercela ketika tetap berpuasa.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-orang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka.’” (HR. Muslim, no. 1114)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang lebih afdhal adalah yang paling mudah baginya saat safar. Jika dalam puasa terdapat bahaya, maka puasa dihukumi haram.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa’: 29).
Ayat ini menunjukkan bahwa jika ada bahaya, maka terlarang untuk melakukannya. (Syarh Al-Mumthi’, 6: 328)
Kemudahan ketiga: Bagi lansia, boleh tidak berpuasa dan diganti dengan fidyah.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang yang sudah tua.” (Al-Mughni, 4: 396)
Kemudahan keempat: Bagi wanita hamil dan menyusui kalau berat berpuasa, boleh tidak berpuasa dan puasanya tetap diqadha’. Qadha’ ini tetap ada sebagaimana pendapat jumhur (kebanyakan ulama). Namun kalau berat karena utang puasa yang menumpuk -misal selama enam tahun punya tiga anak berturut-turut, ketika itu tentu sangat berat untuk diqadha’, maka boleh diganti fidyah. Caranya, satu hari tidak puasa, mengeluarkan satu bungkus makanan. []
SUMBER: RUMAYSHO