FENOMENA semakin mendekati Idul Fitri, maka semakin berkurang gairah menjalankan ibadah Ramadhan menjadi lumrah di Indonesia. Lumrah yang sejatinya tidak nyunnah dan sepatutnya dirubah. Rutinitas persiapan baju baru, makanan dan kue lebaran, THR hingga mudik. Semua itu diperbolehkan (mubah), tapi tidak tepat bila mengalahkan yang sunnah, dan disayangkan bila menjadikan pudarnya pesona Ramadhan. Di antara yang sunnah utama yang tampak “dikalahkan” 10 terakhir Ramadhan adalah I’tikaf. Padahal ia merupakan Ibadah khas 10 terakhir di bulan Ramadhan yang penuh dengan pesona indah.
I’tikaf secara bahasa berarti berdiam diri, dan menurut istilah syari’ah berarti, berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. I’tikaf disunahkan dikerjakan di setiap waktu dan diutamakan pada bulan Ramadhan, dan lebih spesial di 10 terakhir di bulan untuk mengharapkan datangnya Lailatul Qadar. Sejatinya ada beberapa pesona yang patut diperhitungkan dan untuk tidak tega menggugurkannya.
Pertama, mengikuti jejak Rasulullah saw beramadhan. Beliau senantiasa beri’tikaf di bulan ramadhan, Ibnu Umar ra meriwayatkan, “Rasulullah saw biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan di tahun dimana beliau wafat beliau beri’tikaf selama dua puluh hari (HR. Bukhari).
BACA JUGA: Itikaf Hanya Malamnya Saja, Bolehkah?
Subhanallah, betapa indahnya bila umat Nabi Muhammad saw meneladani beliau beramadhan. Di antaranya dengan beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Terlebih Rasul, sosok yang dijamin masuk surga, dosa diampuni, dan ma’shum masih merasa butuh dengan pesona i’tikaf di 10 terakhir Ramadhan, lalu bagaimana dengan kita?
Kedua, membangun intensitas hubungan dengan Allah swt. I’tikaf merupakan momentum meningkatkan tangga kedekatan kita dengan Allah. Dari sekian hari yang tersedia dalam setahun, betapa indahnya bila hanya 10 hari fokus bertemu Allah, dekat dengan-Nya. Rasul sangat sibuk, tapi untuk 10 hari terakhir Ramadhan beliau tidak ingin momentum dekat dengan-Nya tergantikan. Intensitas kepada-Nya dengan muhasabah, zikir, tilawah, doa, tafakur, shalat, sungguh mempesona.
Ketiga, raih dahsyatnya lailatul qadar. Lailatul Qadar atau malam Qadar merupakan anugerah “tambahan usia” bagi umat Islam. Dengan jatah usia yang berkisar 60-70, Allah mengkaruniakan tambahan usia dengan menghadirkan malam qadar setiap tahun. Malam yang lebih baik dari seribu bulan atau sekitar 83 tahun. 83 tahun pahala, 83 tahun tambahan keutamaan di sisi-Nya. Bukan hanya itu, para malaikat, dan malaikat Jibril turun menyertai indah dan dahsyatnya malam itu, malam terbaik sepanjang tahun.
Keempat, merencanakan takdir sanawi. Di antara bentuk takdir adalah takdir sanawi atau takdir tahunan. Dan takdir sanawi ini ditetapkan pada malam lailatul qadar, seperti disebutkan dalam firman-Nya, “Pada malam itu (lailatul Qadar) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (ad-Dukhan [44]: 4-5). Dalam firman-Nya yang lain, “Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” Yaitu, ditetapkan segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam kadar setahun. Betapa indahnya saat kita I’tikaf, dekat dengan-Nya, lailatul qadar turun dengan menetapkan takdir tahunan kita, tentu takdir yang indah membahagiakanlah yang akan hadir. Karena kita dalam posisi baik dalam pandangan-Nya.
Kelima, Mengumpulkan pahala. Ramadhan sebagai bulan pelipatgandaan pahala, dan akan menjadi lebih unggul dengan kita beri’tikaf. Bayangkan kita ibadah sepanjang hari, (maaf) sampai tidur pun, kita dinilai ibadah –karena posisi sedang I’tikaf—belum lagi dengan aktifitas amalan mendekatkan diri kepada-Nya, juga saat lepas dengan kebiasaan duniawi dan hiburan.
Keenam, meraih empat keuntungan Ramadhan. I’tikaf kembali mengokohkan target meraih empat keuntungan Ramadhan, seperti yang dijanjikan Allah swt lewat lisan Nabi-Nya. Keuntungan berupa ampunan dosa, jauh dari neraka, raih surga ar-Rayyan, dan nikmat bertemu dengan Allah kelak. Karena itu I’tikaf sebagai momentum doa dipanjatkan untuk meraih semua itu –selain doa-doa yang lain—Saat hamba dalam posisi terbaik (puasa dan I’tikaf), di tempat terbaik (masjid), waktu-waktu terbaik (Ramadhan, sepertiga malam), maka optimisme 4 keuntungan itu didapatkan, dan doa dikabulkan terbuka lebar.
BACA JUGA: Ini Tiga Amalan Mulia di Sepuluh Malam Terakhir Ramadhan
Ketujuh, meraih husnul khatimah Ramadhan. Sejatinya Rasulullah saw digambarkan mengencangkan ikat pinggangnya di 10 terakhir di bulan Ramadhan menegaskan proses lebih meningkatkan ibadah adalah di saat itu. Sayangnya, banyak kaum muslimin yang sebaliknya, di akhir malah terjadi kelesuan beribadah. Padahal ukuran kebaikan adalah di akhir. Rasul bersabda, “Segala urusan bergantung dengan akhirnya.”Ukuran untuk raih husnul khatimah, akhir yang baik dan su’ul khatimah, akhir yang buruk. Karena itu meneladani Rasulullah saw, sepatutnya kita menjaga terus hari-hari terahir Ramadhan adalah hari terbaik, agar husnul khatimah predikat alumni Ramadhan disemaikan.
Semoga kita termasuk golongan hamba-hamba-Nya yang dapat meraih pesona-pesona i’tikaf tersebut dan sukses sebagai alumni Ramadhan dengan predikat usnul khatimah. Wallahu’alam. []