ALKISAH tersebutlah seorang wanita yang dikenal taat dalam menunaikan ibadahnya. Bahkan ia seringkali menambahnya dengan ibadah-badah Sunnah. Namun sayang beribu sayang, ia berat untuk menutup auratnya. Hijab seolah enggan mendekat pada tubuhnya, sama halnya dengan dirinya yang acuh tak acuh pada jilbab.
Acapkali ketika ia disentuh, “Ukhti yang cantik, Ukhti Insha Allah akan semakin cantik jika ia berhijab.” Namun berulangkali pula ia hanya tersenyum simpul dan berkata, “Insha Allah. Yang penting hatinya dulu yang berhijab.” Dan nampaknya perkataan demi perkataan serupa, berulang kali mengemuka. Tak hanya dari wanita dalam kisah ini, namun telah menjadi suatu hal yang menggejala di pertiwi ini. Meski beribu nasihat telah mengumandang.
Suatu malam dalam buaian pelukan mimpi, wanita ini tengah berada di sebuah taman. Indah di pandang. Perpaduan keelokan bunga-bunga di taman yang bermekaran, dipadu padan hijau-hijau asri sang rumput. Semilir angin berhembus menyejukan, sungai-sungai mengalir begitu jernihnya. Seolah-olah ia cermin laiknya dalam kisah singgasana Sulaiman. Damai, tentram menyapa. Wanita itu merasa nyaman mengada disana.
Ternyata ia tak sendiri. Ada beberapa wanita lainnya yang turut serta menikmati keindahan ciptaan Sang Maha Pencipta. Khusyuk membersamai diri beserta alam. Berselang kemudian ia mendekati salah seorang wanita. Wanita itu berparas bersih nan jernih, seolah diliputi cahaya. Ia mencoba menyapa.
“Assalamu’alaikum, Saudariku.”
“Wa’alaikumsalam. Selamat datang, Saudariku.”
“Terima kasih. Apakah tempat ini, surganya Allah?” Tanya wanita itu penuh rasa penasaran.
Yang ditanya tersenyum kecil. “Oh tentu saja bukan, Saudariku. Ini hanyalah tempat persinggahan, tempat menanti sebelum beranjak menuju Surga Allah.”
“Benarkah begitu? Tak dapat kubayangkan seperti apa indahnya surga, jika tempat ini saja sudah seindah ini.” gumamnya penuh kekaguman.
Wanita itu tersenyum lagi, kemudian ia balik bertanya, ”Wahai Saudariku, Amalan apa yang engkau lakukan hingga mengantarkanmu sampai disini?”
Dengan sedikit terbata-bata dan menjaga perkataan, ia menjawab, “Alhamdulillah, Aku senantiasa menjaga shalat. Dan menambahnya dengan ibadah sunnah.”
“Alhamdulillah.”
Nun jauh di ujung taman, nampaklah sebuah pintu. Ia begitu kokoh, besar, mencengkram bumi. Menjadi sekat diantara satu sama lainnya. Ia pun begitu indah, dengan dekorasi yang asing dimata. Ia kemudian terbuka, menyiratkan bahwa siapapun dipersilakan memasukinya. Beberapa wanita yang sedari tadi menunggu di taman, bersegera masuk.
Satu persatu dari mereka beranjak masuk, dan wanita itu pun diajak untuk memasukinya.
“Ayo Saudariku, kita ikuti mereka, memasuki pintu itu” ucap wanita itu sambil berlari-lari kecil.
“Lalu ada apa di balik pintu itu?” tanyanya penasaran sambil ikut serta.
“Di sanalah Surga Allah berada,” dalam larinya yang semakin mengkelebat.
“Tunggu, tunggu aku!” teriaknya. Ia berlari sekencang yang ia mampu, namun tetap tertinggal. Padahal wanita yang mengajaknya hanya berlari-lari kecil. Tak terlihat usaha keras untuk menuju gerbang tersebut.
Ia tetap berlari, terus berlari dan berlari. Dalam keadaan terengah-engah, ia merasa ada begitu banyak perbedaan. Yang membuatnya berteriak penasaran.
“Saudariku, aku tak kuasa mengikuti derap langkahmu. Meskipun kaki ini telah aku paksa untuk berlari sekencang-kencangnya.“
“Apa yang engkau perbuat, amalan apa itu? Hingga engkau begitu entengnya?” tanyanya menggelora.
Dan jawaban yang muncul hanyalah senyuman simpul, disertai ucapan, “Sama halnya seperti engkau, Saudariku.”
Sementara itu, wanita yang sedari tadi ia ajak berbincang telah sampailah ia di gerbang dimaksud. Sebelah kakinya menapak, menjejak melewati gerbang. Setengah badan berusaha segera menjauh, memasuki gerbang.
Dan ditengah-tengah keputus asaan, dalam upaya yang tidak berujung. Ia kembali berteriak, bertanya penuh harap.
“Apa yang engkau lakukan, amalan apa itu? Yang tidak aku lakukan.”
Lagi-lagi wanita itu tersenyum, “Perhatikanlah dirimu sendiri! Apa yang membedakan engkau dengan diriku?”
“Apakah engkau mengira jika Tuhanmu, Allah, mengizinkanmu menapaki surgaNya? Sementara engkau masih membuka auratmu.”
Ketika tubuhnya semakin menjauh, meninggalkan pintu. Ia pun menoleh, berkata-kata.
”Sungguh sayang beribu sayang, ternyata amalanmu tak mampu mengantarkan engkau mengikutiku memasuki surganya Allah. Sepertinya cukuplah surga hanya singgah di hatimu saja, karena bukankah niatmu adalah hanya untuk menghijabi hati?”
Seketika wanita itu terbangun dari tidurnya. Ia beristigfar, mengambil wudhu dan beranjak shalat malam. Malam itu ia habiskan dalam penyesalan. Berurai air mata, menyesali masa yang telah terlewat. Dan berjanji untuk menutup auratnya. []