Oleh: Ahmad Yusuf Abdurrohman
ahmad.yusuf.abdurrohman@gmail.com
SERINGKALI, saat ditimpa suatu ujian atau cobaan kita mengeluh dan meratap, seraya berkata, “Mengapa ini selalu terjadi padaku.” Atau yang lebih parah lagi, “Mengapa nasibku selalu buruk?”
Seakan hanya kita yang merasakan kesulitan. Seakan kita adalah orang paling menderita di dunia ini dan tak ada orang lain yang mesrasakan apa yang kita rasa.
Tidakkah kita sedikit menengok pada apa yang dialami para pendahulu kita?
Bisa jadi, apa yang kita rasakan belum seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dirasakan oleh para pendahulu kita.
Marilah kita sedikit mengingat apa yang Buya Hamka tuliskan dalam bukunya, “Di Bawah Lindungan Ka’bah.”
“Manakah yang besar penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Adam?
Yang di dalam surga bersenang-senang dengan istrinya, lalu disuruh keluar.
Dan manakah yang susah penderitaan kita dengan penderitaan Nabi Nuh, yang menyeru umat kepada Islam, padahal anaknya sendiri tidak mau mengikuti?
Sehingga seketika disuruh Allah semua kerabatnya untuk naik perahu, anak itu tidak ikut. Malah ikut karam dengam orang banyak di dalam gulungan banjir.
Di hadapan matanya!
Dan kemudian datang pula vonis dari Allah bahwa anak itu tidak termasuk anggota keluarganya.
Pernahkah kita lihat cobaan serupa yang ditanggung Nabi Ibrahim? Disuruh menyembelih anak untuk ujian, ke manakah dia lebih cinta, kepada Tuhannyakah atau kepada anaknya.
Nabi Ya’kub dipisahkan dari Nabi Yusuf; putra kesayangannya.
Lalu, Nabi Yusuf diperdayakan oleh seorang perempuan.
Nabi Ayyub ditimpa penyakit yang parah selama bertahun-tahun.
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman kena bermacam-macam fitnah. Demikian juga Nabi Zakaria dan Nabi Yahya. Yang memberikan jiwa mereka untuk korban keyakinan.
Nabi Isa pun demikian pula. Rasulullah Muhammad lebih-lebih lagi.
Pernahkah mereka mengeluh?
Tidak, karena mereka yakin bahwa kepercayaan kepada Allah menghendaki perjuangan dan keteguhan. Mereka tidak menuntut kemenangan lahir. Sebab mereka menang terus.
Mereka memikul beban seberat itu, menjadi Rasul Allah, memikul perintah Allah karena cintakan manusia. Oleh karena itu mereka tempuh kesusahan, pertama membuktikan cinta kepada Allah. Yang kedua, menggembleng batin, ketiga karna kasih sayang pada segenap umat.”
Jikalau kita masih mengeluh atas apa yang menimpa kita, ingatlah kembali apa yang terjadi pada para pendahulu kita. Percayalah, mereka ditimpa cobaan yang lebih besar dapipada yang kita rasakan. Namun mereka tidak mengeluh sedikitpun. Bahkan, semuanya dijalani dengan penuh keyakinan bahwasanya Allah akan selalu menolong mereka menjalani semua ujian yang mendera. []