ADA sebuah tradisi yang biasa dilakukan masyarakat dalam sebuah hajatan atau walimah. Orang-orang atau tamu yang datang biasanya memberikan hadiah kepada orang yang menggelar hajatan, baik itu walimah atau hajatan lainnya. Biasanya hadiah yang diberikan itu berupa kado atau amplop berisi uang.
Di bebebrapa daerah, kebiasaan tersebut bahkan menjadi semacam hutang-piuitang. Jika pada suatu hari seseorang memeberikan hadiah senilai sekian, maka nanti ketika dia menggelar hajatan, orang yang dia beri hadiah tersebut seakan menjadi wajib membayar dengan memebrikan hadiah serupa atau yang senilai dengannya.
Nah, bagaiamana sebenarnya hukum tentang kebiasaan tersebut?
Menurut istilah syar’i, hadiah adalah memberikan sesuatu kepada orang tertentu dengan tujuan terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat. Hukumnya diperbolehkan apabila tidak ada larangan syar’i. Disunnahkan apabila dalam rangka menyambung silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Disyariatkan apabila bertujuan untuk membalas budi dan kebaikan orang lain. Dan terkadang bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram, dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk suap menyuap.
“Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta.” (HR Bukhari)
Memberikan hadiah sangat dianjurkan. Selama bertujuan baik untuk menjaga persaudaraan. Sekecil apapun hadiah bisa menjadi salah satu hal yang sangat bermanfaat, bahkan selalu diingat oleh orang-orang tersayang.
“Wahai, wanita muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing”. (HR Bukhari)
Di dalam kitab I’anatuth Tholibin juz 3 hal.51, Sayyid Abu Bakar Syatho’ menjelaskan, “Adapun ungkapan yang terdapat dalam kitab Tukhfah yaitu, pendapat yang di anggap kuat tentang hadiah perkawinan(kado atau uang) adalah sebagai Hibah(pemberian), keumuman atau tradisi masyarakat yakni memberikan kado atau uang untuk di kembalikan lagi, tidak bisa mempengaruhi penamaan hibah, selagi pemberi tidak niat menghutangi dan tidak mengatakan Ambilah(umpamanya). Apabila pemberi tidak niat menghutangi dan tidak mengatakan ambilah, maka golongan Ulama memutlakkan sebagai hutang. Terjadinya Khilaf(perbedaan pendapat ulama) adalah di sebabkan tidak sama situasi dan kondisi satu masyarakat dengan masyarakat yang lainya.”
Jadi, kesimpulannya, jika kado atau uang itu di berikan kepada orang yang sedang bergembira(penyelenggara walimah), atau jika hadiah di berikan pada anak yang di sunati, maka tidak boleh di ambil lagi.
Di dalam hasyiyah Bujairomi yaitu Syarah kitab Minhaj diterangkan, pendapat yang telah di tetapkan dari perkataan Imam Romli, Ibnu Hajar al Haitami, dan beberapa Hasyiyahnya yaitu :
Hadiah yang di berikan saat walimah (seperti pernikahan, sunatan dan lain lain) maka bagi pemberi tidak boleh mengambilnya lagi apabila hadiah itu di berikan pada si penyelenggara walimah atau orang yang di serahi untuk menerima hadiah, kecuali memenuhi tiga syarat :
1. Saat memberi mengucapkan ambilah atau semacamnya
2. Ada niat untuk di ambil lagi
3. Adat di masyarakat di kembalikan lagi
Dan ketika hadiah itu di berikan pada orang yang di hiasi (seperti pengantin atau orang yang di sunati) atau semacamnya atau di letakan di tempat yang telah di sediakan, maka tidak boleh di ambil lagi kecuali dengan dua syarat :
a. Mendapat izi dari penyelenggara walimah
b. Ada persyaratan untuk di ambil lagi
hal ini sebagaimana pendapat yang telah di Tahqiq oleh Syaikhina asy Syamsu Muhammad bin Salim al Hafnawi. []
SUMBER: JEJAK ISLAM