Oleh: Ahmad Afandi
SAYA terus merenung. Kala seorang alim membacakan empat ayat al-quran surah Al-Fajr. Ya ayyatuhannafsul muthma’innah. Irji’i ila rabbiki radiyatam mardhiyyah. Fad’uli fi ibadi. Wadkhuli l jannati. Kala itu tujuan dari orang alim tersebut adalah orang yang sudah di ujung sakaratul maut.
Tafsir dari ayat itu mengintisarikan, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya seraya dipanggil dengan waktu yang telah ditetapkan. Allah yang Maha Agung. Allah adalah tuhan seluruh makhluk. Percayalah Allah telah menciptakan makhluk hidup. Suatu saat akan kembali pada-Nya dan akan dimasukkan ke dalam syurganya Allah pula. (diperkuat kata Wadkhuli Jannati).
Seakan saya, atau lebih tepatnya kita berefleksi. Mencerminkan diri sudah sejauh mana kita melabuhkan kaki di samudera kehidupan yang fana. Tak ada yang bisa menyelamatkan kita selain tunggangan kita selama hidup. Perbaharui kapal itu karena hidup amatlah panjang. Penuh dengan gelombang tak terduga yang siap menerkam keimanan.
Indikasi kita menjadi lemah iman bukan karena kita tidak mengerjakan semua konteks ibadah kepada Allah. Akan tetapi bagaimana kita terus-terusan larut dalam kemewahan. Seperti kita sedang ditimang-timang oleh perasaan suka dan kasih. Harta, jabatan, wanita bahkan kedudukan tertinggi pada suatu golongan yang membuat kita terpedaya.
Sebagai orang lemah iman jua, saya juga merasakan hal demikian. Iman seakan menyingkir dari hati dan hidup ini kala uang (kemewahan) sudah menyelimuti tubuh kita. Dengan uang, kepuasan terbeli. Dengan uang hiburan dapat merelaksasi fikiran. Dengan uang pula kenikmatan rohani serta batiniyyah juga ikut terpenuhi. Bagaimana bisa seseorang melepaskan dari belenggu harta, sebenarnya itulah hikmah terbesar dari hidup ini. Seseorang itu yang sadar akan agama, atau benar-benar takut akan azab Allah. Saya harus menyinggung. Bahkan orang alim sekalipun, jika masih terkena wabah penyakit eksak akut maka dipastikan keilmuannya dipertanyakan. Wallahu a’lam bisshawaf.
Allah telah memprediksi ketamakan manusia akan harta. Dalam Firman Allah SWT surah At-taubah ayat 34-35 menjelaskan, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih”. Dilanjutkan dengan ayat selanjutnya “(ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahannam, lalu dengan itu diseterika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.
Sebab musabab tafsir dari ayat tersebut menganalogikan, uang masih menjadi primadona bagi setiap manusia. Allah telah melarangnya dengan sebuah ultimatum akan diberikan azab yang pedih seakan juga membal di telinga kita. Betapapun banyaknya harta kita di dunia, akhirat menjadi tempat yang peling menyeramkan. Pada ayat ke 35 disebutkan kronologi siksaan yang akan didapatkan bagi seorang pendamba harta. Penggila uang dan kekuasaan. Saya mengamini, sekuat apapun fisik manusia di dunia tidak akan sanggup menahankannya.
Di atas saya menyinggung penyakit eksak akut. Bukan sejenis penyakit medis yang membahayakan. Tidak ada pembagian jenis dan klasifikasi organ mana yang diserang penyakit tersebut. Penyakit serupa pola fikir yang terpelihara dengan sehat. Kepala manusia manapun pasti menganutnya. Penyakit ini terkaji dalam qalbu atau hati manusia. Kepuasaan menjadi landasan dari penyakit ini. penyakit eksak akut saya inisialkan untuk orang-orang yang cinta akan dunia. Eksak mengindikasikan nominal atau perhitungan angka yang sering dipakai dalam materi keilmuan. Artinya manusia tidak bisa dilepaskan dari perhitungan harta yang membelenggu diri dan pikiran. Setiap kita pasti sepaham. Bahwa sering kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Penyakit eksak akut merangsan setiap manusia untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tidak pernah memperdulikan bagaimana dan dari mana rejeki itu didapatkan. Semua urusan dan keperluan dihubungkan dengan uang. Uang menjadi landasan utama. Sampai hak gratis yang seharusnya kita dapatkan, malah oleh beberapa manusia itu tidak berlaku.
Semua harus diperhitungkan. Katanya, tidak ada yang gratis dari hidup ini. inilah penyakit eksak akut yang melanda masyarakat Indonesia. Padahal, jika dikaji lebih dalam, penyakit ini lebih bahaya dari penyakit fisik lainnya. Saya menganalogikan saja ungkapan Rasulullah, tidak ada penyakit (fisik) manusia yang tidak bisa disembuhkan, kecuali mati. Namun penyakit yang menyerang pola fikir serta perasaan manusia itu yang dipertanyakan. Sampai saat ini tidak ada balai pengobatan yang mempu menyembuhkan dengan cepat penyakit batin itu kecuali dengan niat dan tekad yang kuat untuk bertaubat dari pelakunya.
Bahaya dari penyakit eksak akut merangsang pikiran manusia untuk berlaku tamak dan serakah. Sementara tamak dan serakah dekat dengan penyakit hati yang kronis. Hampir tidak bisa disembuhkan dengan jalan apapun. Bahkan penyakit hati mendorong pelakunya untuk tervonis penyakit kegilaan yang akut.
Orang yang selalu berpikir uang akan selalu berusaha menghalalkan cara untuk mendapatkan uang. Tidak pernah memperdulikan ruang kapasitas kehalalan dan kelayakan dari usaha yang dijalankan. Sebagai contoh, orang yang suka menerima riba biasanya dekat dengan penipuan. Kamuflase dan sepuklatif agar statementnya dihargai. Diberikan uang jasa kemudian dengan mudahnya kita terjerumus ke dalam lembah dosa. Fiddunya wal akhirah saya rasa imbasnya sangat terasa.
Pencegahan
Alangkah baiknya kita mencegah pola fikir dari penyakit eksak akut. Meninggalkan angka angka dalam kehidupan. Langkah yang paling ideal menurut saya dengan membalas balik pikiran tersebut. Bisa dengan memberikan edukasi seputar ilmu sosial yang berkualitas bagi kita. Kita harus meranjak melangkah dari bayang-bayang uang dan angka-angka. Kenali semua lingkungan dan ambil semua hikmah yang ada di dalamnya. Pelajari dan telaah sendiri setiap kelakuan masyarakat. camkan dalam hati bahwa kita berhak menilai, menimbang dan memutuskan di kehidupan.
Hal ini juga berkaitan langsung dengan ilmu filsafat yang sudah banyak yang terlupakan. Filsafat adalah penalaran (logika), jadi dengan sering kita membaca ilmu filasafat akan terasa maknanya dalam kehidupan yang kita jalankan.
Langkah terakhir, ya anda benar. Tentunya dengan menambah keimanan. Dengan sering melakukan perkumpulan atau majelis taklim keagamaan. Mendengarkan siaran agama di berbagai media. Apalagi teknologi sudah tidak terbatas. Kapan saja dan dimana saja kita bisa mengaksesnya dengan mudah. Bekali dirimu dengan ilmu agama. Akhirul kalam, kalau tidak sekarang mau kapan lagi? []