Oleh: Mamang Aris
mamangariss@gmail.com
MENTARI terasa begitu menyengat kulitku. Berkali-kali kulihat ke sumber panasnya, namun tak mampu kudapatkan pantul bayangannya di kornea mataku. Silau. Sungguh, panasnya terik matahari itu tak membuatku gusar. Mungkin manusia-manusia lainnya pun begitu. Tak begitu peduli dengan hawa panas matahari yang hanya sejengkal dari ubun-ubun.
Bukan! Bukan karena manusia semakin sakti mandraguna hingga mampu menahan panas matahari yang berjarak satu jengkalan tangan. Bukan itu. Ada alasan lebih urgen yang meminta diselesaikan terus berputar di kepalaku, juga manusia lainnya di padang gersang ini. Sebuah masalah, bukan, bukan. Tidak hanya sebuah, tapi jutaan bahkan triliunan juta triliun ribu masalah. Sejumlah masalah yang pernah terlewati tanpa merasa bahwa yang dilakukan adalah masalah. Manusia memang psikopat. Selalu merasa apa yang dilakukannya itu benar.
Pikiranku tak karuan di padang gersang ini. Memori otak terus saja memutar berbagai masalah yang pernah kulakukan semasa hidup dulu. Begitu keras otak ini kuperas sari-sarinya, berharap menemukan jalan keluar dari jeratan belenggu dosa yang menggandoliku.
Aku berjalan tak tentu arah. Menyusuri padang gersang—yang lebih tepat disebut lautan manusia, karena begitu tumpah ruahnya manusia—mencari seseorang yang bisa memberikan pertolongan. Tapi apa? Tak kutemukan seorang pun yang menampakkan aura ketenangan di sini. Semua terlihat linglung saat telah sampai di sini. Bagaimana bisa kucurahkan kegalauanku pada orang-orang linglung yang sama-sama membutuhkan uluran tangan orang tanpa kegalauan?
Dengan menangis kulangkahkan saja kakiku entah kemana. Belarik-larik doa kuucapkan pada Tuhan. Namun seolah mulutku tak mengeluarkan bunyi. Tuhan tak mendengar suaraku. Hingga kuputuskan mendatangi orang-orang yang sama linglungnya denganku. Putus asa.
“Tuan, bisakah Anda menolongku?” ucapku lirih.
“Maaf, Tuan. Kondisiku tak jauh berbeda denganmu,” orang yang kutanyai itu menggeleng. “Pergilah, aku sedang pusing memikirkan nasibku sendiri!” dia membentakku kemudian menangis. Merengek seperti anak kecil.
Aku pun meninggalkan orang itu. Kudekati lagi manusia-manusia lainnya, jawaban yang masuk kedalam gendang telingaku tetaplah serupa. Semua orang memikirkan nasibnya sendiri. Nasib orang lain tidaklah penting ketika nasib pribadinya belum tenteram. Belum aman, selamat.
***
Waktu. Siapa peduli dengan waktu? Tidak ada istilah waktu di padang gersang ini. Hanya ada siang, tidak ada kata malam apalagi waktu malam. Mentari kini tidak lagi punya malu seperti saat di dunia dahulu. Tidak pernah ada lagi pergantian tugas memberi cahaya oleh bulan. Matahari selalu gagah berdiri tepat sejengkal di atas kepala. Membuat keringat-keringat busuk manusia mengalir tanpa mengenal kata berhenti. Bercucuran.
Aku sudah sangat lelah berjalan mencari orang yang bisa membantuku. Meski lelah, tak kuasa tubuhku terduduk barang sedetikpun. Padang gersang ini terlalu ramai dan penuh sesak untuk dijadikan tempat bersantai melepas lelah. Bukan saatnya. Hingga aku hanya bisa berdiri. Mematung. Merenung. Dan menangis.
Kuarahkan pandanganku ke segala penjuru padang ini. Kepalaku memutar, tubuhku juga, mengitari setiap sudut dan setiap jarak di padang ini. Dengan pelan dan teliti kuperhatikan setiap jengkalnya, namun hanya lautan manusia yang kudapati. Di kejauhan kulihat ada segumpal awan tak bergerak. Aneh, awan itu hanya segumpal dan hanya di satu tempat saja. Di sana, di ujung pandanganku.
“Tuan, apa kau melihat itu?” tanyaku pada seseorang di sampingku sambil telunjukku mengarah ke segumpalan kecil awan.
“Ya, aku melihatnya. Aku sedang menuju ke sana.”
“Memangnya ada apa di sana?” aku menyelidik penasaran.
“Entah. Yang jelas aku butuh berteduh di bawah awan itu.”
Orang itu lari, cepat sekali, aku kehilangan jejaknya di balik kerumunan. Namun aku juga berlari ke arah awan itu. Dengan napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran membasahi tubuhku yang tak tertutup sehelai benangpun—semua orang juga telanjang sepertiku—kudekati awan yang memberikan harapan besar dapat menaungiku dengan teduhnya. Mendinginkan suasana padang gersang penuh hiruk pikuk ketakutan, kecemasan, kegalauan.
Tak kusangka, dalam perjalananku menuju awan itu kutemukan sebuah pohon. Sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya di padang gersang ini ada sebuah pohon begitu rindang. Kulihat dibawah pohon seorang berdiri membawa tongkat. Jelas saja dengan bergegas kuhampiri sosok bertongkat di bawah pohon itu. Semakin dekat dengannya, semakin aku merasa bahwa otakku menyimpan database profil sosok itu. Aneh, padahal seingatku dia tak sezaman dengan masa hidupku dulu. Setelah mendekat, kuberondong dia dengan kata-kata yang sering kuucapkan pada orang-orang.
“Duhai, Nabi Musa, bisakah engkau memberiku pertolongan?”
“Maafkan aku, aku tak dianugerahi Allah untuk hal itu,” aku terperanjat mendengar jawaban Nabi Musa. Bagaimana mungkin seorang Nabi tak bisa mengulurkan bantuannya? “Pergilah pada seorang Nabi lain, aku yakin dia bisa membantu.”
“Kemana aku harus mencarinya?”
“Ia ada di bawah gumpalan awan itu.” Nabi Musa menunjuk awan yang menjadi tujuan awalku. Ada sedikit rasa lega dalam hati saat mendengar ada Nabi di bawah awan itu yang bisa menarik manusia dari ketakutannya.
***
Gumpalan awan itu masih sangat jauh, namun aku tak mampu menerobos kerumunan manusia di hadapanku. Saat kucoba menerobos—seperti sebelum-sebelumnya—memasuki kerumunan, mereka mendorongku dengan mengatakan, “Kamu bukan dari golongan kami! Carilah golonganmu sendiri.” Aku terjengkang ke belakang menghempas kerumunan orang lainnya. Ini membuatku kembali bersedih, kembali meratapi nasibku yang begitu buram, samar-samar. Sampai kapan aku merasakan himpitan dosa masa lampau yang tak lagi bisa kutebus? Penyesalanku kini sia-sia, sudah terlalu hilir malam, apa hendak dikata lagi. Dunia sudah berakhir.
Di tengah ratapan akan nasib di padang gersang ini, aku merasakan tanganku ditarik seseorang. Tubuhku terseret berdesakan dengan manusia-manusia lain. Tak bisa terlihat jelas siapa yang menyeretku. Hanya punggung si penyeret yang bisa kutatap. Aku tak mampu berontak! Terlalu lemas dan letih tubuhku kini untuk melepas dari genggaman si penyeret. Sial!
“Hei, lepaskan!” kataku lantang.
“Diamlah, ikuti saja aku. Aku akan membawamu pada suatu golongan besar.”
Dahiku mengernyit mendengar jawaban dari mulut si penyeret. Perasaanku tak karuan antara senang bisa kembali bergerak dan takut. Padang gersang ini benar-benar membuatku linglung dan sulit berpikir jernih. Kesilapan masa lalu menjadikanku lupa wujud kebaikan hingga prasangka pada si penyeret hanyalah keburukan. Mungkinkah ia akan mencemplungkanku ke neraka? Memasukkanku ke dalam golongan orang-orang berdosa?
Lagi-lagi mulutku komat-kamit mengembuskan doa keselamatan. Namun hanya udara yang keluar dari mulutku. Tak ada bunyi-bunyian pita suara. Padang gersang ini benar-benar membuat doa manusia tak akan di dengar Tuhan. Percuma meminta, sia-sia berdoa. Kesempatan kedua tidak akan pernah hadir sebagai penebus alpa. Dan tangisku kembali menderai.
***
“Inilah golonganmu,” kata si penyeret memungkasi tarikannya. Aku mendongak. Penyeret itu telah dapat kutatap wajahnya. Melihatnya, tangisku pecah. Haru yang sangat dalam berdentum keras di kedalaman hati.
“Siapa kau?”
“Kalkulasi perbuatan baikmu. Tugasku selesai, kau sudah di bawah naungan awan”
Si Penyeret kemudian menghilang ditelan kerumunan manusia. []