Oleh : balmindra
iqbalmindra@gmail.com
HARI ini aku dan beberapa murid TPSA lainnya mendapat giliran dipukul rotan oleh Pak Pi’i.
“Lagi-lagi kalian bertiga, tidak ada kapoknya kalian main-main dalam shalat? Hukuman ini sakitnya boleh sekian jam saja, azab neraka jauh lebih besar dari pada ini. Tengadahkan tangan!” tegur Pak Pi’i.
Satu per satu kami mendapat pukulan rotan hingga sepuluh kali. Walaupun sudah pernah mendapat hukuman yang sama, namun rotan kuning itu terasa makin tajam.
Tanganku memerah, belum lagi sembab yang meninggalkan rasa perih di sela-sela jari.
“Sekarang kembali ke kelas! Ingat! Jika kalian masih mengulang kesalahan yang sama, hukumannya tiga kali lipat dari ini. Paham?” ancam Pak Pi’i pada kami.
“Pa-pa-ham Pak,” jawab kami serentak ketakutan.
Aku segera berlari ke kelas TPSA. Mbak Santi guru mengajiku terlihat jengkel, tapi dia hanya diam, tidak bicara sepatah kata pun.
Selama menunggu giliran mengaji, aku terus meniup-niup tangan yang terasa panas. Semua ini gara-gara si Khalil dan Dayat. Aku menyesal shalat di sebelah mereka berdua.
***
Keesokannya, ketika main kelereng di jam istirahat sekolah. Jariku terasa ngilu, alhasil, berulang kali aku gagal membidik kelereng lawan. Tak jarang aku memijit jari lembut, sesekali terbayang pukulan Pak Pi’i kemarin yang sangat kuat. Sekaligus ucapannya mengenai azab neraka yang lebih besar.
Teet…
Lonceng tanda berakirnya waktu istirahat berbunyi. Lekas saja, aku memungut si bluereng alias kelereng biru kesayanganku. Memasukkannya dalam saku celana.
Sesampai di kelas, aku segera mengeluarkan buku catatan agama Islam. Tak lama Bu Efi datang, guru agamaku yang berbadan gempal itu terkenal sangat garang, jika buku catatan atau pun latihan tertinggal, siap-siap saja berdiri di depan kelas selama jam pelajaran beliau.
“Asalamualaikum, Ananda sekalian,” ucapnya kuat.
“Wa’alaikumsalam, Buk…,” jawab seluruh murid dalam kelas serentak.
“Baiklah, hari ini pelajaran kita mengenai syarat sah wajib shalat. Bagi yang punya buku cetak, silahkan buka halaman seratus enam!” perintah Bu Efi.
Beberapa teman yang punya buku cetak disuruh Bu Efi membaca syarat-syarat sah wajib shalat.
Di antara syaratnya yaitu: Islam, suci dari hadast, haid dan nifas. Ada yang berkata berakal, menutup aurat, mengetahui masuknya waktu shalat, menghadap kiblat dan mengerti rukun dan sunat shalat.
Setelah menerangkan seluruh syarat-syarat tersebut, Bu Efi lanjut membaca beberapa potongan ayat.
Yakni Al-Mu’minun ayat satu sampai dua. Kemudian beliau membaca artinya “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya.” Bu Efi menghentikan bacaannya dan menatap kami semua, “maksud dari penggalan ayat di atas yaitu orang-orang yang bersungguh-sungguh ketika dalam mengerjakan shalatnya, berarti dia adalah orang yang beriman kepada Allah dan termasuk ke dalam golongan yang beruntung di dunia maupun di akhirat.”
Kemudian seorang teman yang bernama Riri mengangkat tangan.
“Iya, Riri, mau bertanya apa?”
“Buk, shalat khusyuk itu seperti apa?”
“Bagus sekali pertanyaannya. Shalat khusyuk itu maksudnya berkonsentrasi ketika mengerjakan ibadah shalat. Tidak menoleh kekiri ke kanan, tidak bergerak-gerak di luar gerakan shalat, tidak berbicara atau tertawa. Pandangan itu fokus ke bawah menuju sajadah yang menghadap kiblat, pikiran pun sama, tidak berpikir yang macam-macam, hanya fokus pada bacaan dan gerakan shalat saja.”
Aku pun memberanikan diri bertanya “Buk, apa hukuman orang yang tidak khusyuk dalam shalatnya?”
“Berarti shalatnya tidak diterima oleh Allah SWT, doa kita pun menjadi sia-sia. Apalagi kalau main-main dalam shalat. Jangan pernah sesekali melakukannya, yang kita hadap itu Allah SWT, Allah SWT seluruh alam. Jika kalian menyepelekannya, kalian akan berdosa dan diberi azab. Karena kalian masih kecil, jadi dosanya masih ditanggung orangtua. Mau Ibuk Bapaknya masuk neraka karena ulah Ananda sekalian?” tanya Bu Efi serius.
Tentu seluruh murid menggeleng termasuk aku. Malahan aku merasa takut karena selama ini selalu menyepelekan shalat dan sering bermain ketika sedang melaksanakannya.
Lonceng pertanda pulang sekolah pun berbunyi, terdengar sangat indah di telinga. Aku dan seluruh murid lainnya menjadi sangat girang, bahkan bersorak ‘Hore’.
Dengan cepat aku, Dayat dan Khalil berjalan ke parkiran sekolah untuk mengambil sepeda. Mengayuh santai hingga sampai ke rumah.
Aku segera meletakan sepeda di sudut rumah bersebelahan dengan sebuah motor bebek.
“Asalamualaikum…,” ucapku ketika masuk.
“Wa’alaikum salam,” jawab nenek dan Bang Riva.
“Nenek, Bang Riva, Kapan datang?” tanyaku senang.
“Barusan,” jawab nenek.
“Kok sepi? Ibu dimana Nek?” tanyaku lagi.
“Ibumu lagi di rumah sakit,” balas nenek sedih.
“Di rumah sakit, siapa yang sakit?”
“Ayahmu kecelakaan,” jawab nenek lesu.
Aku kaget, rasanya ingin menangis.
“Nek, ayo bawa Akmal ke rumah sakit! Bagaimana keadaan Ayah sekarang?” Aku sangat khawatir.
“Nanti kita ke sana, sekarang Akmal ganti baju dulu, shalat zuhur lepas itu makan! Nanti kita sama-sama pergi,” ajak nenek.
Aku hanya bisa mengiyakan, sesudah ganti baju, shalat dan makan. Aku dan nenek berangkat ke rumah sakit menaiki motor yang dibawa oleh Bang Riva.
***
Sesampai di rumah sakit aku menjumpai ibu dan kakak yang sedang menunggui ayah.
Ayah terbaring lemas, wajah dan sebagian badannya memar, kepalanya dibaluti perban putih. Tangannya dipasangi infus tak lupa sebuah selang oksigen mengatup hidungnya.
Ibu memelukku kuat berurai air mata, dia terus membekapku dan tak jemu-jemu memegangi tangan ayah yang sedari tadi tidak sadarkan diri.
“Ayah kenapa Bu?” tanyaku pelan.
“Jatuh dari motor,” jawab ibu lirih bergelimang air mata.
Tak lama seorang dokter dan suster datang memeriksa kembali keadaan ayah.
Kemudian ibu bertanya “Bagaimana keadaan suami saya Dok?”
“Belum stabil, kita hanya bisa berdoa agar beliau bisa keluar dari keadaan koma. Saya harap Ibuk bisa bersabar,” jawab dokter prihatin.
Lagi ibu berurai air mata begitupun dengan kakakku, Linda. Nenek berusaha menenangkan ibu yang kalut dalam duka.
Sedangkan aku hanya diam termangu menyimpan rasa sedih dalam hati.
***
Sekarang kedaan rumah sepi tanpa ayah dan ibu. Aku hanya bertiga di rumah bersama kakak dan juga nenek.
Ibu melarangku dan kakak untuk tetap tinggal di rumah sakit. Ia menyuruh kami untuk pulang dan tetap bersekolah.
Kakak terlihat masih semangat, dia sedang mengerjakan PRnya di kamar.
Aku mendatangi nenek yang sedang memotong sayur di dapur. Kemudian duduk tepat di sebelahnya.
“Sudah shalat isya?” tanya nenek.
Aku mengangguk, menandakan sudah.
“Jangan tinggalin shalat, doain Ayah agar cepat sembuh! Cuma Allah yang mampu menyembuhkan Ayah.” suruh nenek padaku.
“Sudah Nek, Akmal selalu doain Ayah, tetapi Allah tidak juga mengabulkan doa Akmal,” balasku berlinang air mata.
Nenek merangkulku “Bukannya tidak mengabulkan, cuma belum saja. Oleh karena itu, jangan berputus asa, shalat dengan khusyuk berdoalah dengan sungguh-sungguh dengan segala kerendahan hati. Insyaallah doanya pasti dikabulkan.” Nenek menasehati.
Seketika aku teringat ucapan Bu Efi yang berkata “Shalat yang tidak khusyuk, tidak akan diterima Allah, doanya pun akan menjadi sia-sia.”
Setiap hari kuusahakan shalat dengan khusyuk. Walau terkadang pikiran masih sulit dikontrol. Setiap kali terbayang sesuatu, aku berusaha mengingat-ingat ayat-ayat yang sedang kubaca. Hanya itu caraku agar mampu memfokuskan shalat.
Namun tiga hari berlalu tanpa hasil. Ayah tidak kunjung sadar, aku pun terkadang putus asa. Tapi selalu berusaha menepisnya. Masih yakin Allah akan mengabulkan doaku.
Di pagi buta aku terbangun, teringat tentang shalat tahajud yang diceritakan Bu Efi.
Kulangkahkan kaki ke kamar mandi untuk berwudu. Menggelar sajadah di dingin dan sunyinya malam.
“Ya Allah, sengaja hamba shalat tahajud dua rakaat, karena Engkau lillahita’ala.” Aku segera mengucap takbir rakaat pertama.
Segala pikiran kufokuskan dalam shalat, tidak ada pikiran selain hanya pada Allah. Ayat-ayat shalat kubaca jelas-jelas, agar pikiranku tetap tunduk.
Sesudah salam, kubaca doa untuk ke dua orang tua. Sesuai dengan pesan Pak Pi’i kemarin ini, kalau tidak membaca doa untuk orang tua, maka doanya tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT. Tak lupa kusampaikan doa untuk ayah, agar segera disembuhkan, doa kuakhiri dengan ucapan ‘Amin yarabbal a’lamin’.
Alhamdulillah, kali ini aku merasa shalatku benar-benar khusyuk, fokus dan sangat tenang.
***
Sesaat ketika baru sampai di rumah. Bahkan kayuhan sepeda dari sekolah masih terasa di kaki. Nenek mendekat dan menyampaikan sebuah berita.
“Mal, Ayahmu sudah sadar, ayo Nak ganti baju, shalat zuhur lepas itu makan! Kita pergi ke rumah sakit,” ucap nenek bahagia.
“Alhamdulillah,” jawabku turut senang.
Sesudah ganti pakaian, shalat zuhur dan makan. Aku, nenek dan kakak pergi ke rumah sakit.
Kini tampak senyum tersungging di bibir ibu. Wajahnya berbinar, begitu pun dengan ayah, matanya bercahaya menatap kami, katup oksigen telah lepas dari wajahnya. Bahkan ibu baru selesai menyuapi beliau makanan dan obat.
Ternyata benar kata orang, jika doa kita belum dikabulkan, jangan salahkan Allah SWT tapi lihat kembali shalat kita, sudah benar atau belum? []