SAJADAH merupakan perlengkapan yang biasa dipakai ketika seorang muslim melaksanakan ibadah shalat. Biasanya sajadah berupa sehelai kain (tebal) yang dipakai sebagai alas untuk bersujud. Namun, tak semua orang yang shalat menggunakan sajadah, ada pula yang melakukan shalat tanpa alas sehelai kain pun. Bagaiamana ketentuan sebenarnya tentang alas untuk shalat ini?
Dalam kitab Al Muntaqo karya Abul Barokat ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyah Al Harroni disebutkan dalam kitab Shalat, yaitu Bab “Shalat di Atas Bulu, Karpet, dan Alas Lainnya.” Haditsnya, dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di atas permadani.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat di atas tikar dan kulit yang disamak.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dari Abu Sa’id, ia berkata bahwa beliau pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau katakan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas tikar, beliau sujud di atasnya.” (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas dapat diketahui bahwa sajadah atau semacamnya sudah dikenal di masa Rasulullah SAW. Berdasarkan hadits di atas juga dapat disimpulkan bahwa penggunaan sajadah itu diperbolehkan, sebab Nabi sendiri pernah menggunakananya.
Namun, penggunaan sajadah ketika shalat itu sama sekali tidak menjadikan penggunaannya wajib. Jika, ada anggapan shalat harus menggunakan sajadah, ini dikhawatirkan dapat menjadi suatu bid’ah.
Syaikh ‘Utsman Al Khomis menerangkan, “Yang dimaksud bid’ah adalah jika berkeyakinan bahwa shalat mesti di sajadah dan ia mengharuskan seperti itu. Ini jelas bid’ah. Namun yang tepat, sujud di atas sajadah bukanlah bid’ah. Dan para ulama pun tidak menggolongkannya sebagai bid’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat di atas khumroh (tikar kecil), terkadang pula shalat di atas tanah, juga kadang shalat di atas hashir (tikar dengan ukuran lebih besar). Beliau shalat di tempat mana saja yang mudah bagi beliau. Beliau tidak bersusah-susah diri dalam melaksanakan shalat. Kalau ada tikar di depan beliau, beliau tidak memindahkannya lalu shalat di atas tanah. Begitu pula ketika ada permadani lainnya, beliau tidak memindahkannya dan shalat di atas tanah. Apa yang beliau peroleh, beliau shalat di situ.”
Dalam kitab syafinatun naja dijelaskan bahwa syarat sholat ada 8, yaitu:
1.Suci dari dua hadats (hadats kecil dan hadats besar, penj).
2.Suci dari najis pada pakaian, badan dan tempat (shalat)
3.Menutup aurat
4.Menghadap kiblat
5.Masuk waktu shalat
6.Mengetahui fardhu-fardhunya shalat
7.Tidak boleh menyakini satu fardhu dari fardhu-fardhunya shalat sebagai sunnat
8.Menjauhi batalnya (yang membatalkan)shalat.
Jadi, intinya penggunaan sajadah sebagai alas dalam shalat itu bergantung pada kondisi tempat. Jika tempat yang digunakan suntuk shalat itu bersih dan layak, maka boleh saja shalat tanpa sajadah.
Pada umumnya, beragam kitab fiqih menjelaskan ‘tempat’ sholatnya harus suci, namun biasanya tempat shalat yang tak diurus dengan baik akan cenderung kotor, maka dibuatlah alas sholat ( sajadah). Intinya bukan soal harus dialasi sajadah yang mesti dilengkapi, namun tidak najisnya tempat sholatlah yang harus dipenuhi. Shalatnya sebetulnya sah tanpa sajadah, selama terpenuhi semua syarat, rukun dan tidak mlakukan perkara yang membatalkan shalat. Yang penting tempat bersih dan suci tidak ada masalah dan sah shalatnya. []
SUMBER: PISS-KTB & ANNIDA