Oleh: Lili Agustiani, S.Pd
Pemerhati Perempuan dan Generasi
TIDAK hanya meracuni ketiga anak kandungnya, wanita yang berprofesi sebagai guru di Banjar Sandaka, Desa Sulangai Petang Badung juga mencoba mengakhiri hidupnya dengan meneguk racun(20/2). Diduga karena masalah dengan suami seorang ibu sekaligus sebagai pelaku bernama Ni Luh Putu SeptyanPermadani (33) telah menambah deretan daftar kasus, dimana sebelumnya di Desa Karobelah, Kecamatan Mojoagung, Jombang, seorang ibu juga telah mengakhiri hidup ketiga anaknya dengan meminum racun serangga. Tigabocah yang ditemukan tewas tergeletak bersama ibunya dalam kamar mandi diduga karena himpitan ekonomi. (sumber: Tribunwow.com)
Di Kalimantan Timur, Kota Samarinda. Bayi yang masih berusia sembilan bulan juga meninggal ditangan kedua orang tuanya, Dokter Forensik RSUD AW Sjahranie, Daniel Umar saat ditemui memastikan bayi itu mengalami kekerasan hampir di sekujur badannya.”Ada bekas luka menyembuh, ada juga luka baru. Kondisi ini sudah lama terjadi. Kekerasan jasad bayi itu, sudah sering dan ya, berulang-ulang,” ujarnya. Untuk diketahui, kasus itu terbongkar setelah polisi mendapat kabar, bayi meninggal diduga tidak wajar, kamis (1/2) malam. Setelah dicek, kondisi bayi itu sangat mengenaskan. Ditemukan banyak luka lebam, luka diduga karena sundutan rokok, dan bekas gigitan. Bahkan daging lengan kanan bayi malang itu terkoyak diduga bekas gigitan. (sumber: Merdeka6.com)
Sebelumnya di Samarinda (12/17) seorang bocah juga tewas ditangan ayah tiri dan ibu kandungnya. Diduga akibat dianiaya berulang kali oleh ayah tirinya, Hasanudin pernah diikat lalu dipukuli oleh sang ayah tiri Rahmat, baik di wajah dan badannya. Tangan yang terikat, mulut dilakban tubuhnya penuh lebam bekas pukulan. Bocah yang biasanya ceria itu akhirnya menghembuskan nyawa terakhirnya. (sumber: PROKAL.CO).Masih kasus yang sama pembunuhan bayi dikota malang, bermula dari hubungan terlarang di Surabaya. UYRU diduga membuang bayi di Dinoyo, Kota Malang pada 11 Januari 2018. Saat itu UYRU mengaku menjadi korban pemerkosaan. (sumber: Suryamalang.com)
Banyaknya kasus Ibu yang bunuh diri serta membunuh anaknya tidak bisa dipisahkan dari sistem kapitalis sekuler yang ada saat ini, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Sistem sekuler yang membebaskan manusia untuk berbuat, membuahkan hasil perzinahan yang jelas-jelas melanggar hukum syara. Hingga banyak kasus hamil diluar nikah yang menyebabkan depresi dan mengambil jalan pintas yaitu dengan bunuh diri atau membuang bayi hasil dari perzinahan. Sistem sekulerisme juga telah menghilangkan fitrah ibu sebagai pendidik didalam rumah tangga, himpitan ekonomi telah membuat ibu sebagai istri dalam rumah tangga juga mengalami kesulitan dan tidak mampu menyelesaikan permasalah sampai akhirnya memilih jalan mengakhiri hidupnya dan anak-anaknya.
Data yang dikeluarkan oleh WHO pada 2012 memperkirakan terdapat 350 juta orang mengalami depresi, baik ringan maupun berat. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia pada 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang.
Buktinya berdasarkan data yang dikeluarkan oleh WHO (Word Health Organization) pada 2012, sebanyak 804.000 kematian di dunia disebabkan oleh bunuh diri setiap tahunnya. Di Indonesia, tingkat rasio bunuh diri mencapai 1,6 sampai 1,8 orang untuk setiap 100.000 penduduk pada 2001. Di 2005 mengalami kenaikan, rasio bunuh diri di Indonesia mencapai 11,4 orang per 100.000 penduduk. Sementara itu pada 2012, rasio bunuh diri menurun menjadi 4,3 orang per 100.000 penduduk dan tergolong rendah di antara negara ASEAN lainnya.
Beberapa laporan mengenai bunuh diri perempuan di Indonesia umumnya terjadi pada kelompok ibu rumah tangga. Dari penelitian yang dilakukan oleh Chris Girard “Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis” pada 1993, bunuh diri pada perempuan disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, tekanan sosial, dan kesulitan ekonomi.
Wanita yang normal pasti mengharapkan pernikahan dalam hidupnya, memiliki keturunan dan suami yang mampu mengayomi keluarga. Hal ini wajar karena pada setiap diri manusia memiliki fitrah untuk meneruskan keturunan. Selain itu menikah juga merupakan ibadah kepada Allah. Walaupun menikah itu menyenangkan akan tetapi bukan berarti bebas dari masalah, justru setelah menikah lah kehidupan baru akan dimulai. Menyatukan dua pemikiran yang berbeda tidaklah mudah apalagi tidak ada dasar pemahaman agama pada pasangan suami dan istri. Maka wajar jika ada konflik dalam rumah tangga, hanya saja konflik tersebut harus segera diselesaikan.
Adapun penyelesaian masalah-masalah tersebut tidak bisa lepas dari peran suami dan istri serta lingkungan disekitarnya yang mempengaruhi psikologi, terutama disini adalah pemerintah. Karena kalau dilihat dari penyebab masalah utama adalah kurangnya pengurusan Negara terhadap masyarakat terkait kemajuan ekonomi individu, serta tidak adanya sanksi yang tegas kepada pelaku pembunuhan dan yang melakukan perzinahan. Sehingga kasus yang sama akan terus berulang-ulang.
Sebagai seorang muslim tentu kita harus kembali pada aturan atau hukum yang diturunkan oleh Allah swt sang pencipta manusia. Hanya hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rosullullah saw yang mampu menyelesaikan permasalahan saat ini. Wallahualam bisshowab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.