BERSAMA 700 pasukan, musim semi 711 almanak menandai pijakan kaki pertama pasukan Thariq ibn Ziyad di kawasan yang populer sebagai Spanyol. Pada 19 Juli tahun itu, ia dengan tambahan pasukan 5000 prajurit berhadapan dengan kerajaan Sanyol Gotik Barat pimpinan Roderick. Pasukan Islam di bawah pimpinan Thariq memenangi pertempuran. Raja Gotik Barat sendiri dikabarkan menghilang nyaris tanpa kabar jelas keberadaannya. Setelah kemenangan penting ini, pasukan Muslim terus merangsek maju menguasai kota-kota Spanyol. Nyaris tanpa perlawanan berarti, kecuali di beberapa kota yang dikuasai para satria Gotik Barat. Demikian dicatat Philip K. Hitti dalam buku otoritatifnya seputar dunia Islam, History of the Arabs (1937).
Thariq berlatar belakang mantan budak Berber yang dibebaskan. Tapi ia punya keberanian dan kecakapan hingga Gubernur di jazirah Afrika Utara, Musa ibn Nushair, tak ragu menunjukkan. Capaiannya di Semenanjung Iberia, gerbang barat daya Eropa, membuka futuhat kawasan ini dalam naungan risalah Islam. Dengan banyaknya kota-kota ditundukkan, berlimpah ruah juga rampasan perang yang diperoleh. Nama Thariq otomatis melambung harum seketika. Tak menutup kemungkinan rasa bangga pun hadir di dada-dada anak buahnya. Sebuah capaian yang dipandang berbeda oleh Musa ibn Nushair, yang mengabdi pada daulah Umayyah di Damaskus. Torehan mencengangkan dalam waktu singkat oleh anak buahnya, menghadirkan gundah tersendiri pada Musa. Hitti bahkan terang-terangan menyebut perasaan itu sebagai sebentuk cemburu Musa.
Atas tuduhan tidak taat pada perintahnya selaku atasan, Musa bergerak menyeberang selat (yang juga kelak dinamai sesuai anak buahnya itu: Gibraltar). Thariq dianggap membangkang perintahnya. Ia terus-menerus melakukan penaklukan, sementara dirinya tidak menitahkan demikian. Setelah menguasai beberapa kota kecil dengan benteng pertahanan kuat, yang dihindari Thariq, kedua orang hebat itu bersua. Di dekat kota Toledo penghakiman terjadi.
Menukil riwayat dari Ibn Abd al-Hakam dan Ibn al-Idzari, Hitti menyebutkan bahwa Musa mencambuk dan merantai sang anak buah! Sebelum hukuman lebih jauh hadir, sebuah perintah dari Khalifah al-Walid tiba. Musa diperintahkan untuk datang ke Damaskus. Urusan di kawasan taklukan baru diserahkan pada putranya, Abdul Aziz. Putranya ini pula, tutur Hitti, yang mendapatkan Egilona, janda Raja Roderick, yang dikalahkan Thariq.
Musa datang membawa limpahan harta benda dan tawanan dari kawasan penaklukan. Sebuah berita yang menggembirakan bagi Khalifah dan pendukungnya. Februari 715, ia disambut gempita Khalifah. Peran keberaniannya dikisahkan pada sang junjungan, melupakan satu nama yang berdarah-darah mengawalinya: Thariq ibn Ziyad.
Musa rupanya tak membaca, apalagi menyiapkan, angin baru yang dibawa pengganti Khalifah, Sulaiman. Khalifah baru ini, mengutip ungkapan Hitti, “melemparkan Musa ke jurang kehinaan yang dalam.” Entah mengapa, Khalifah menghukum sang gubernur dengan berdiri di bawah terik matahari. Ini masih remeh. Karena yang terjadi berikutnya lebih menyedihkan: seluruh harta benda Musa disita; otoritas sebagai gubernur pun dicabut. Ringkas cerita, ia dimiskinkan. Merujuk dari karya al-Maqqari dan Ibn Khallikan, Hitti menyebut penakluk Afrika dan Spanyol ini terpaksa menjadi pengemis di Wadi al-Qura, sebuah kawasan di Hijaz.
Derita Musa sang penakluk bertambah ketika beberapa purnama kemudian, ia menerima “hadiah” berupa kepala jenazah Abdul Aziz, putranya yang menjabat sebagai gubernur pertama Spanyol-Islam. Putra Musa ini pada 716 di dekat Sevilla ditebas pedang utusan Khalifah Sulaiman. Santer terdengar kabar di telinga Khalifah, Abdul Aziz begitu “takluk” pada istri setempatnya, Egilona. Rumor bahwa Abdul Aziz murtad, mengikuti agama Egilona, membuat marah Khalifah. Sebuah rumor yang sebetulnya tanpa konfirmasi tapi kadung tersebar luas.
Dalam rentanya umur Musa ibn Nushair, ia harus berkubang dalam airmata. Islam tak mengenal hukum karma; sebuah hukuman yang otomatis ada diterima pelaku secara langsung di dunia. Islam hanya menganut tiap tindakan insan ada balasan, entah di dunia ataukah lebih-lebih di akhirat sana. Tak selalu musibah atau bencana yang mendera di dunia bagi pelaku kejahatan itu sebagai karma. Ini tak memungkiri bahwa dalam derita yang disandang, korban yang dizalimi mengangkasakan doa-doa bagi pelaku. Dan di antara doa para korban, tak mustahil ada yang dikabulkan Allah. Tapi hubungan sebab-musabab ini rumit dan otoritas Ilahi. Hanya zahir di mata insan saja kaitan itu disebutkan kausalitas, sebab-akibat.
Ada pelajaran amat berharga dari Musa dan Thariq. Tentang menenggang rasa keberhasilan orang lain yang secepat kilat, lebih-lebih diraih bawahan kita. Rasa yang bisa saja ditudingkan pada sosok Umar ibn Khathab pada Khalid ibn Walid. Tapi Umar bukan sosok yang mengiri-hati pada urusan duniawi; ia mengiri-hati kalau-kalau Khalid melenakan banyak orang juga diri pribadinya. Dan kelak Umar mengakui, Khalid sejatinya tidak seperti sangkaannya. Lain hal dalam benak rasa Musa pada Thariq, setidaknya bila menyandarkan akurasi kisah yang dipetik di karya Hitti.
Dalam perjuangan dakwah, persaingan sesama pejuang Allah senantiasa ada. Ada jenak untuk menoleh pada capaian saudara sendiri, yang kemudian hadirkan sangkaan hingga cemburu. Menghela semua ini lalu kembali fokus pada garis perjuangan dalam panji tauhid dan keikhlasan, kadang tak semudah membalikkan telapak tangan. Sosok-sosok Musa ibn Nushair dan Thariq ibn Ziyad, tak patut kita sangsikan keimanannya. Toh, riwayat yang ada hadirkan kepahitan yang patut jadi renungan kita. Kita yang kadang melemah dan lantas menyusun koalisi untuk menghancurkan reputasi al-akh yang tengah moncer di hati banyak pihak. []