REZEKI merupakan sesuatu yang paling dicari oleh manusia di muka bumi ini. Rezeki seringkali diidentikan dengan harta, kekayaan, atau kesenangan hidup yang kita dapati atau rasakan. Kenyataannya, tak semua harta yang kita miliki bisa kita nikmati sendiri.
Adakalanya rezeki yang kita peroleh dengan kerja bersusah-payah, memeras keringat, banting-tulang justru harus dibagi dengan anak-istri atau sodara. Bahkan, kadang raib entah kemana. Bisa karena dicuri, rusak atau hilang.
Jika demikian, apakah itu termasuk rezeki?
Nah, untuk bisa memahami hakikat rezeki, perlu dipahami dulu tentang prinsip rezeki itu sendiri. Apa saja? Berikut ini penjelasannya:
Pertama, semua makhluk yang berakal maupun yang tidak berakal rezekinya telah dijamin oleh Allah. Ada banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Allah SWT berfirman:
“Tidak ada satupun yang bergerak di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rezekinya.” (QS. Hud: 6).
Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita tentang proses penciptaan manusia.
“Kemudian diutus malaikat ke janin untuk meniupkan ruh dan diperintahkan untuk mencatat 4 takdir, takdir rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.” (HR. Muslim 6893).
Prinsip ini tidak mengajarkan manusia untuk berpangku tangan atau diam tidak bekerja. Dengan anggapan semua telah ditakdirkan. Alasannya:
[1] Benar rezeki manusia telah ditaqdirkan, tapi taqdir itu rahasia Allah, yang tidak kita ketahui. Sementara sesuatu yang tidak kita ketahui, tidak boleh dijadikan alasan.
[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa tawakkal tidak menghilangkan ikhtiyar (usaha mencari rezeki). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, yang keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu sore harinya pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Turmudzi 2344, Ibn Hibban 730 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Imam Ahmad menjelaskan, “Hadis ini tidak menunjukan bolehnya berpangku tangan tanpa berusaha. Bahkan padanya terdapat perintah mencari rezeki. Karena burung tatkala keluar dari sarangnya di pagi hari demi mencari rezeki.”
Ibnu Katsir menceritakan ada seseorang yang mengadu kepada Ibrhim bin Adham (ulama generasi tabi’ tabi’in) karena anaknya yang banyak. Kemudian beliau menyampaikan kepada orang ini, “Anakmu yang rezekinya tidak ditanggung oleh Allah, silahkan kirim ke sini.” Orang inipun terdiam. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 13/510)
Turunan dari prinsip ini bahwa siapapun anggota keluarga yang nafkahnya menjadi tanggung jawab kita, hakekatnya yang memberi rezeki mereka adalah Allah dan bukan kepala keluarga. Kepala keluarga yang bekerja hanya perantara untuk rezeki yang Allah berikan bagi anak-anaknya.
Kedua, setiap jiwa tidak akan mati sampai dia menghabiskan semua jatah rezekinya. Sehingga siapapun yang hidup pasti diberi jatah rezeki oleh Allah sampai dia mati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dantinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi dalam sunan al-Kubro 9640, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan disepakati Ad-Dzahabi)
Syaikh Shalih al-Maghamisi dalam sebuah ceramahnya menceritakan ada seorang lelaki jatuh ke dalam sumur. Ia pun berteriak minta tolong. lalu berhasil mengeluarkan orang itu dari sumur dalam keadaan selamat. Sesorang menyodorkan kepadanya segelas susu untuk diminimumnya dan menenangkann keadaanya.
Setelah tenang orang-orang bertanya,”Bagaimana bisa Anda jatuh ke dalam sumur?”
Mulailah orang itu bercerita, lalu ia berdiri di bibir sumur untuk mempraktikan kronologi saat ia terjatuh kedalam sumur.Qodarullah, tanpa di sengaja orang itu terjatuh lagi ke dalam sumur dan akhirnya mati.
Orang itu diselamatkan oleh Allah karena masih tersisa jatah rezekinya di dunia, yakni satu gelas susu untuknya. Maka setelah jatah rezeki disempurnakan untuknya, ia terjatuh di tempat yang sama kemudian mati. []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH