Oleh: Sarah Ismi Kamilah
Ibu Rumah Tangga, Alumni S1 Fisika ITB
raimie.ka@gmail.com
Dentuman bom, puing-puing bangunan hancur, darah bercucuran membentuk lautan darah serta jeritan orang-orang mewarnai hari-hari di Ghouta Timur Suriah saat ini. Sejak Ahad (18/2/2018), ya hanya kisaran kurang lebih satu minggu saja, lebih dari 500 orang tak bersalah telah terbunuh. Termasuk di dalamnya 150 anak dan jumlah ini akan terus bertambah jika ini tidak dihentikan.
Rezim Suriah yang berkuasa di bawah Bashar Assad dan Rusia terus menerus menjatuhkan bomnya membabi buta di wilayah Ghouta Timur Suriah. Mereka secara brutal menyerang warga sipil baik laki-laki, perempuan, orangtua, anak-anak bahkan bayi di rumahnya sendiri.
Tak hanya ke rumah, tentara Assad juga menjatuhkan bomnya di sekolah, toko, pasar, rumah sakit, ambulans dan meninggalkan orang-orang terkubur di bawah rerutuhan bangunan termasuk anak kecil tanpa dosa.
Banyak wanita dan anak-anak dipaksa untuk berlindung di gua atau ruang bawah tanah rumah mereka. Mereka sekarat karena kedinginan tanpa selimut, pakaian tebal dan makanan. Mereka berkata bahwa mereka saat ini seakan-akan sedang menunggu giliran untuk mati.
Banyak para ibu yang putus asa dan berharap pada Allah untuk mengambil jiwa anak-anaknya untuk mengakhiri rasa sakit, penderitaan juga kelaparan anak-anak mereka. Karena setidaknya anak-anak mereka akan mendapatkan makanan di surga.
Bisa kita bayangkan betapa putus asanya seorang ibu yang bisa berpikiran seperti itu pada anak-anaknya yang dia sangat cintai. Atau bisakah kita bayangkan bagaimana putus asanya para dokter di Ghouta Timur yang merawat anak-anak setelah terluka terkena pengeboman tanpa henti dengan anggota tubuh yang hilang, bersimbah darah juga tangisan di wajah anak-anak tanpa dosa. Dan kita belum tentu akan kuat jika berada di posisi mereka saat ini.
Mirisnya, situasi ini ternyata tidak menggugah komunitas internasional seperti PBB, OKI, atau bahkan negeri-negeri Muslim di sekitarnya, untuk bergerak menghentikan tragedi yang terus berlangsung ini. Kita seperti sedang menonton pertunjukan pertumpahan darah tanpa tahu harus berbuat apa.
Kemana Hak Asasi Manusia dan perlindungan terhadap kehidupan manusia termasuk anak-anak yang selalu digaungkan oleh komunitas internasional perdamaian itu? Sayangnya mereka tidak bisa diharapkan saat yang menjadi korban adalah Muslim. Bahkan berita pemusnahan massal yang terjadi di Ghouta ini pun tidak menjadi headline di media massa. Ya, karena yang menjadi korban adalah Muslim.
Ghoutaku sayang, Ghoutaku malang. Rasanya sakit hati ini melihat keadaan negeri mulia hancur porak-poranda, korban berjatuhan dan terutama anak-anak tanpa dosa yang menjadi korban.
Doa dan bantuan obat-obatan juga makanan memang dibutuhkan oleh warga Ghouta, tapi tidak selesai sampai di situ. Karena penyebab kekacauan di Ghouta belum dihilangkan, sehingga konflik ini masih akan terus-menerus terjadi dan menimbulkan korban yang sangat banyak.
Ghouta membutuhkan kekuatan militer yang digerakkan oleh penguasa kaum Muslimin yang kuat dan hanya takut kepada Allah. Hanya Islam dalam institusi dengan segala aturanNya yang sempurna akan bisa mengembalikan persatuan seluruh ummat di seluruh negeri dalam satu kekuatan untuk bahu-membahu menolong Ghouta.
Mereka adalah saudara kita, layaknya satu tubuh. Jika satu bagian sakit maka bagian tubuh yang lain pun akan ikut sakit. Dan bahkan mungkin tidak hanya Ghouta saja yang bisa ditolong, Aleppo Suriah, Palestina, negeri-negeri konflik yang lain termasuk negeri dengan berbagai macam permasalahan seperti Indonesia. Kita harus menyelamatkan Ghouta, jika tidak sekarang, maka akan terlambat. #SaveGhouta. Wallahu a’lam bi ash-shawaab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.