SORE yang teduh, ditemani dengan gerimis dan bau tanah yang basah. Bagiku itu senja yang sempurna. Tepat pukul 16.57, aku berjalan melewati jalan setapak yang biasa kulalui sepulang kuliah.Tak lama lagi aku akan sampai di sebuah jalan besar menuju tempat tinggalku di kota perantauanku ini.
Di kejauhan, tampak seorang kakek tua renta bersandar di tepi trotoar yang akan kulewati. Cukup lama aku mengamatinya dari kejauhan. Jelas sekali ia kelaparan. Keriput di wajahnya seolah-olah menceritakan luka yang berkepanjangan.
“Ah…dimana keluarganya atau anaknya?” tanyaku dalam hati.
Aku mulai merogoh sakuku, sekiranya ada uang receh yang bisa kuberikan kepadanya. Memang tak banyak, karena biasanya uang receh yang tersisa di kantongku adalah sisa membayar angkutan umum sepulang kuliah. Aku hanya menemukan empat keping uang logam 500 rupiah.
“Ah, pasti ini cukup,” pikirku. Toh, dia sama seperti pengemis lainnya di pinggir jalan. Dan uang 2 ribu rupiah selalu cukup untuk seorang pengemis.
Ketika tepat berada di sampingnya, aku memasukan koin logam yang kumiliki tadi ke dalam sebuah peci yang kakek itu gunakan untuk menadah uang. Tanpa melihat lagi, aku langsung berjalan pergi.
“Dia pasti senang dapat uang tambahan,” pikirku.
Baru beberapa langkah aku berjalan, dari tikungan muncul seorang bapak paruh aaya. Dia duduk di atas kursi roda yang begitu usang. Ketika kuperhatikan lagi, subhanallah, bapak itu memangku sesuatu.
Aku tak percaya, bapak itu memangku barang dagangan yang ia pangku dengan bambu di atas kursi rodanya. Diiktanya bambu tersebut pada kursi roda dan dia mulai menjajakan dagangannya.
“Kelontong, ember, sapu, kain pel….”
“Sapu lidinya, Dek,” sapanya ketika menghampiriku.
Saat itu aku bisa melihatnya dengan jelas. Bapak itu lumpuh, tapi dia tetap berdagang mencari nafkah tanpa menggadaikan harga dirinya. Sikapnya membuatku kagum bercampur haru melihatnya.
Dan ada satu hal yang sangat membuatku terkejut. Bapak itu menghampiri pengemis yang tadi kuberi uang receh, lalu ia mengeluarkan uang dar sakunya sebesar 20 ribu rupiah.
Ia memberikan uang tersebut kepada pengemis itu, seraya berkata, “Bapak belum makan, kan? Ini uang buat Bapak makan, sisanya untuk Bapak sarapan besok,” ujarnya.
GLEK!
Kakiku seakan terpaku, begitu kaku menyaksikan peristiwa itu. Hatiku tertampar, aku malu! Bagaimana bisa seorang pedagang kelomtong keliling yang cacat itu, tulus memberikan uang sebegitu berlipatnya dari jumlah uang yang aku berikan kepada seorang pengemis. Padahal, mungkin dia lebih membutuhkannya, karena mungkun hanya uang selembar itu yang ia miliki.
Lalu aku? Aku sudah merasa cukup dengan hanya memberi 2 ribu rupiah,padahal di dompetku masiha da 2 lembar uang 50 ribu dan 2 lembar uang 20 ribu. Aku kalah, kalah peduli, kalah tulus, kalah ikhlas, dan kalah memberi dari seorang pedagang kelontong yang cacat…
Hari itu, Allah menamparku dengan cara yang paling halus. Di atas langit, masih ada langit! []
Sumber: Sejuta Pelangi Pernik Cinta Oki Setiana Dewi. Oki Setiana Dewi. Mizania