SUATU masa pada 961-1002 Masehi, Kekhalifahan Andalusia memesona sesiapa saja yang bertamasya ke sana. Lihat saja di Ibu Kota, Kordova. Dalam catatan Philip K. Hitti di buku History of the Arabs (2014: 669) terdata setidaknya kota elok terbaik bersama-sama Baghdad dan Konstantinopel itu memiliki 130.000 rumah; 21 kota satelit; 73 perpustakaan. Ini belum termasuk sejumlah toko buku, masjid dan istana.
Infrastukturnya jangan ditanya. Bermil-mil jalanan rata dengan penerangan saban malam begitu benderang dari lelampuan rumah-rumah penghuninya. Sekarang bandingkan. Butuh “hanya” 700 tahun bagi Inggris agar memiliki fasilitas lampu serupa. Dan itu saja baru satu lampu umum. Bagaimana Paris, kota pesaing London? Beberapa abad lebih belakang setelah Inggris agar meniru. Bahkan, jauh lebih mengenaskan kota yang kelak disebut pusat mode ini. Syahdan, siapa pun yang berjalan di luar rumah saat hujan, maka ia akan terjebak dalam kubangan lumpur setinggi pergelangan kaki. Inilah Paris.
Rupanya Inggris tak kalah “mengenaskan”dalam hal kepedulian. Bila Paris tak terpikir soal dampak air kubangan bagi kulit, di jirannya lain lagi. Ketika orang Kordova terbiasa berendam di pemandian mewah, ilmuwan Oxford University memandang mandi adalah kebiasaan buruk penyembah berhala yang haram diikuti! Ini pendapat kalangan terdidik di zamannya, apatah lagi para awam.
Itulah pendahulu kita dan mereka 10 abad lalu. Itulah masa bukan disesali atau dibayangkan belaka. Tapi ini tentang perlunya memeluk ingatan bagi perjuangan esok. Kita diuji untuk menyaksikan ketertinggalan peradaban negeri-negeri Islam pada masa sekarang dibandingkan mereka yang dulu pantas disebut “liar dan biadab”. Ini tentang menaruh kepercayaan diri seraya mengais kembali khazanah dan budaya ilmu yang pernah kokoh hadir di tengah umat. Bagaimanapun juga, peradaban Islam, sebagaimana tercermin dalam pesona di Kordova, memiliki kekhasan yang itu terlahir dalam pandangan alam (world view) islami.
Menurut Raghib as-Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2014: 52), peradaban Islam ditegakkan atas dasar risalah langit, yaitu Islam dengan apa yang disifati dari risalah ini berupa kemanusiaan dan persatuan universal, kesatuan mutlak dalam akidah. Peradaban Islam, kata as-Sirjani, dikenal dengan ciri toleran ajaran dan risalahnya yang universal.
Produk-produk yang dihadirkan dari peradaban Islam seperti dicatat Hitti di awal tulisan ini, sudah tentu berlaku tanpa perkecualian bagi sesiapa saja. Ia tak lagi menyekat manusia, bahkan faedahnya melewati batasan geografi. Bahkan, urusan mandi yang bagi peradaban di luar Islam awalnya diremehkan dan dianggap aneh, hanya ritual yang tak terpisahkan dalam keseharian Muslimin.
Kegemilangan agama kita memang tak memadai bila diagung-agungkan pada masa sekarang. Ia bukan buat nostalgia belaka. Ia mesti jadi inspirasi ketika umat hendak berjuang. Perjuangan menaikkan peradaban Islam sendiri tidak serta-merta semudah membalikkan telapak tangan. Akan ada banyak pihak yang tak ingin Muslimin berjaya. Tentunya tak pantas hanya menuding mereka jadi sebab kita sebatas pecundang. Melawan perpecahan dalam diri umat, mewaspadai rekayasa dari luar, mutlak berjalan beriringan. Kesadaran semacam ini menjadi penting tatkala kita gerah mendapati upaya merusak generasi (khususnya) muda Muslimin di sini dengan candu dan zat merusak lainnya. Jelas ada yang tak ingin kita di sini menegakkan marwah, dan hanya cukup puas sebagai bangsa yang dijarah dalam hal apa pun. []