Oleh: Nita Susanti
Koordinator Komunitas Remaja Bandung
susanti.nitaa@gmail.com
DUNIA pendidikan kembali berduka. Ahmad Budi Cahyono, 27, guru seni rupa SMAN 1 Torjun tewas setelah dipukul oleh muridnya.
Budi, seorang guru honorer yang hanya dibayar Rp. 400 ribu per bulan itu sempat mendapat pertolongan medis. Namun sayang, nyawanya tidak bisa ditolong lantaran luka dalam yang dialaminya sudah sangat parah saat tiba di rumah sakit (Jawapos.com, 2/2/2018). Polres Sampang sudah menetapkan HI sebagai tersangka. Polisi menjerat pelaku dengan Pasal 351 ayat 3 KUHP dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara.
Kekerasan menjadi potret buram kehidupan remaja saat ini. Tingkat kenakalan remaja sudah sangat mengkhawatirkan, bahkan sudah sampai menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Misalnya, pada tahun 2017 lalu, tiga Anak Baru Gede (ABG) nekat membacok seorang pelajar SMPN 4 Cikarang Barat, hingga tewas.
Sebelumnya di Yogyakarta kejadian serupa sempat menjadi fenomena yang sangat meresahkan masyarakat Kota Pelajar itu pada 2016 lalu. Mereka menyebutnya fenomena ‘klitih.’ Pelaku yang membawa berbagai senjata tajam seperti celurit, pedang hingga pisau menyerang korban secara acak saat berjalan malam hari di tempat sepi. Polisi pun sudah menangkapi para pelaku ‘klitih’ ini yang rata-rata anak remaja usia 13-18 tahun.
Aksi penganiayaan, pembacokan, dan penyerangan tersebut merupakan contoh kenakalan remaja yang sudah mengarah kepada tindakan kriminal yang makin mengkhawatirkan negara ini.
Masih ada sejumlah bentuk kenakalan lain mulai dari tawuran, seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan miras, prostitusi, aborsi hingga kebrutalan geng motor. Sejumlah kejadian kejahatan begal motor juga melibatkan para remaja. Padahal remaja merupakan generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet kebangkitan umat.
Ada sejumlah faktor yang memicu kenakalan para remaja, di antaranya:
Pertama, disfungsi keluarga, terutama fungsi edukasi (madrasah yang pertama dan utama). Orang tua memiliki kewajiban menanamkan pondasi akidah yang kuat agar melahirkan generasi mukmin yang taat. Rumah pun telah kehilangan fungsinya sebagai tempat berkasih sayang sehingga anggota keluarga tidak lagi merasakan “baitiy jannatiy.”
Merasa lebih nyaman di luar rumah dan berbuat keonaran untuk mencuri perhatian. Generasi menjadi rapuh dan mudah terkena pengaruh buruk. Belum lagi faktor kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah, seringkali disebut-sebut sebagai faktor pemicu lainnya.
Kedua, faktor lingkungan. Lingkungan adalah tempat perkembangan sosial. Anak dan remaja mulai mengalami perkembangan kemampuan untuk memahami orang lain (social cognition), menjalin persahabatan, belajar menghargai dan menghormati orang lain. Anak yang beranjak remaja biasanya memiliki relasi yang kuat dengan teman-temannya (peer group).
Sehingga lingkungan memiliki pengaruh kuat bagi perkembangan anak dan remaja. Lingkungan yang buruk akan memberikan pengaruh buruk bagi anak dan remaja. Kontrol yang lemah dari masyarakat dan lingkungan sekolah akan memunculkan berbagai masalah, termasuk makin berkembangnya masalah kenakalan dan kriminalitas remaja.
Ketiga, serbuan informasi yang nyaris tanpa filter menggempur anak dan remaja. Tidak adanya perlindungan Negara bagi masyarakat dari informasi yang buruk memberikan efek serius bagi anak dan remaja.
Apabila kita perhatikan, solusi-solusi yang ditawarkan oleh sistem saat ini belum menyeluruh sampai pada akarnya melainkan masih bersifat sementara. Padahal problematika yang dihadapi remaja bukan sebatas kenakalan biasa, tapi sudah mengarah pada tindakan kriminal. Penanaman akidah yang kurang kokoh, hingga sikap abai keluarga serta lingkungan harus diselesaikan secara tuntas.
Adapun beberapa kelemahan dari solusi yang diberikan oleh sistem saat ini, di antaranya:
Pertama, tidak adanya kejelasan batasan antara anak dengan dewasa. Dalam UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Demikian juga pengertian anak menurut UU. No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tetapi, dalam UU. No. 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin.
Kedua, adanya perbedaan penanganan antara satu kasus dengan kasus lainnya terhadap kriminalitas anak dan remaja. Ancaman pidana itu hanya ditujukan terhadap percobaan kejahatan, sedangkan untuk percobaan pelanggaran tidak bisa dikenakan pidana.
Bagi anak yang mampu bertanggung jawab masih tetap dimungkinkan untuk tidak dipidana, terutama bagi anak yang masih sangat muda. Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan.
Ketiga, tidak memahami akar persoalan yang sesungguhnya, sehingga sistem saat ini tidak mampu memberikan solusi yang mendasar. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa munculnya kenakalan remaja disebabkan kurangnya ruang mereka untuk berkonsultasi. Padahal bukan hanya itu saja, karena pada kenyataannya, penyelesaian permasalahan kenakalan remaja ini harus dimulai dari pembenahan berbagai aspek, mulai dari keluarga, lingkungan, sekolah, dan Negara. Tak bisa pula hanya mengandalkan pihak sekolah untuk mengatasi masalah ini, namun seluruh komponennya perlu dilibatkan. []
BERSAMBUNG
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.