Oleh: Feby Putra
febyliverpool123@gmail.com
SULTAN Muhammad Al-Fatih memerintahkan agar membangun sebuah masjid di kota Istanbul. Beliau menugaskan seorang arsistek berkebangsaan Romawi untuk memimpin pembangunannya.
Arsitek Romawi ini bernama Ibsalanti. Ibsalanti di beri tugas itu karena ia seorang arsitek yang hebat.
Sultan meminta agar tiang masjid dihiasi oleh batu-batu marmer. Ketinggian tiang-tiang masjid haruslah memadai, agar masjid terlihat kokoh dan gagah.
Sultan menentukan tinggi tiang yang dia inginkan, lalu beliau mengatakannya kepada ibsalanti. Ibsalanti pun tidak mengikuti persetujuan dari Sang Sultan tersebut, namun karena beberapa alasan, Ibsalanti mengurangi ketinggian tiang tanpa memintai persetujuan sultan.
Mendengar apa yang dilakukan oleh Ibsalanti, Sultan menjadi sangat marah. Dalam pandangan Sultan, bahan tiang yang didatangkan dari tempat jauh menjadi tidak bermamfaat lagi dan uang yang di keluarkan menjadi sai-sia.
Masih dalam kondisi marah besar, Sultan memerintahkan agar tangan Ibsalanti tersebut dipotong sebagai balasan atas ketidakpatuhannya.
Prajurit pun melaksanakan apa yang diperintah oleh Sultan dan perintah ini dilaksanakan secepat mungkin. Sultan menyesali keputusannya itu hanya saja keputusan nya sudah terlambat. Ibsalanti tidak tinggal diam.
Setelah tangan Ibsalanti terpotong, ia melaporkan apa yang dialaminya kepada qadhi di kota Istanbul. Nama qadi tersebut adalah Syaikh Shari Khidir Jalabi. Seluruh rakyat dipenjuru kerajaan telah mengenali reputasi dan keadilan sang qhadi Syekh Shari.
Ibsalanti pun langsung mengadukan kezhaliman Sultan Muhammad al-Fatih kepada Qadhi Syaikh Shari. Aduannya ini berisi tentang apa yang dilakukan oleh seorang Sultan al-Fatih tersebut.
Aduannya diterima dan dikabulkan oleh qhadi tersebut. Kemudian, qhadi ini membuat surat peryataan supaya Sultan dapat menghadiri sidang. Dengan tanpa ragu, Sultan memenuhi panggilan qhadi, karena kebenaran dijunjung tinggi di atas kekuasaan.
Pada hari yang ditentukan, Sultan hadir di pengadilan. Lalu beliau masuk dan berjalan menuju tempat duduknya sebagaimana biasa. Melihat hal itu, qhadi berkata kepadanya: “Tuanku tidak boleh duduk di kursi tersebut. Tuan harus berdiri berdampingan dengan penggugat.”
Sultan berdiri berdampingan dengan si penggungat yang kebangsaan Romawi itu.
Ibalanti pun menyatakan gugatannya di hadapan qhadi. Ia mejelaskan apa yang telah dialaminya tersebut. Setelah selesai Ibsalanti menjelaskan, kemudian tiba giliran Sultan untuk berkata.
Dalam perkataannya, ia membenarkan apa yang didakwakan oleh Ibsalanti. Selesai berbicara, Sultan tetap duduk, sambal menunggu apa yang akan diputuskan oleh Qhadi tersebut.
Qhadi berpikir sejenak. Setelah itu ia memandang ke arah Sultan. Kemudian qhadi ini memutuskan dan berkata: “Sesuai dengan hukum sya’riat, tanganmu wahai Sultan wajibdi potong demi melaksanakan hukum qhisas.”
Gemetar badan Ibsalanti ketika mendengar keputusan yang disampaikan oleh qhadi. Dalam pikirannya, ia berharap qhadi memutuskan agar Sultan mengganti nafkahnya yang hilang lantaran tangannya terpotong.
Ia sama sekali tidak membayangkan qhadi akan mengeluarkan keputasan itu yaitu memotong tangan Sultan Sang Penakluk Kota konstantinopel yang ditakuti para penguasa di Eropa.
Dengan badan gemetar dan suara patah-patah, lalu Ibsalanti menyatakan di hadapan Qhadi, bahwa ia membatakan gugatannya.
Kemudian Ibsalanti pun berkata: “Hamba berharap nafkah hamba diganti. Jika tangan sultan dipotong itu tidak ada memberi mamfaat apa-apa pada hamba.”
Akhirnya Qhadi memutuskan, Ibsalanti akan menerima 10 keping uang sepanjang hidupnya, sebagai pengganti atas hilangnya nafkah lantaran tangannya yang terpotong.
Namun, Sultan memutuskan untuk memberinya 20 keping uang perhari. Hal itu dilakukannya lantaran ia sangat senang telah terbebas dari hukum qhisas dan juga sebagai ungkapan penyesalannya. []