MENITI jalan-jalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, itulah jalan-jalan khtiar yang terbaik. Apalagi kalau kemudian bisa lurus dan istiqamah. Dunia akan dibukakan Allah buat mereka yang mengabdi kepada Allah. Sebab dunia adalah milik-Nya. Dan Dia akan menguasakan lagi kepada siapa yang Dia kehendaki.
Banyak orang yang tidak menyadari, sebab ilmunya yang barangkali kurang, bahwa meniti jalan-jalan menuju Allah, itulah jalan ikhtiar terbaik. Tidak dekat dengan Allah saja diberi-Nya dunia, apalagi dekat dengan Allah dan mencari jalan-jalan untuk dekat dengan-Nya. Pasti dunia tambah lagi diberi oleh Allah.
Tapi karena kurangnya ilmu, maka ketika jalan sudah dibukakan Allah, malah Allah lebih sering ditinggal. Atau kalaupun tidak ditinggal, maka terhadap Allah kita sering juga mengurangi jatah perhatian dan waktu untuk-Nya. Astaghfirullah, saya pribadi pun beristighfar karenanya. Apalagi dengan keangkuhannya manusia, banyak yang tidak mengakui agama sebagai solusi hidupnya. Banyak yang tidak mengakui ibadah sebagai solusi ikhtiarnya, bukan sekadar pelengkap.
Pernah diceritakan kepada saya, ada perusahaan penyedia jasa ruangan-ruangan untuk disewakan. Pada satu masa, keuangannya menurun. Penyewanya sedikit sekali. Ditenggarai, begitu menurut mereka, sebab berdiri kompetitor tidak jauh dari lokasi gedung mereka. Hingga kemudian karyawannya membuat pengajian.
Dipanggilnyalah seorang ulama. Pengajian diadakan pagi menjelang zhuhur. Saat zhuhur tiba, ulama tersebut yang memang masih di sana saat itu, bertanya di mana di ruang apa kalau mau shalat? Karyawan-karyawan yang ditanya, gelagapan. Sebab memang gedung ini tidak menyediakan ruang khusus untuk memuliakan orang-orang yang shalat.
“Selama ini di mana shalatnya?” tanya ulama tersebut.
“Di parkiran bawah,” jawab karyawan.
Ulama ini ngambek. “Wah, mana bisa maju kalau begini? Gedung ini memang siapa yang ngasih? Kan Allah. Walaupun kelihatannya yang bangun adalah manusia. Masa terhadap Allah yang sudah memberikan gedung ini; baik uang, kesehatan, dan kesempatan, untuk memakai dan menikmati gedung ini, eh… malah dipinggirkan?”
Ulama ini pulang.
Tertinggallah karyawan terbengong-bengong. Tapi mereka mengamini. Mulailah mereka melakukan sesuatu. Mereka bersama-sama menghadap kepada direksi dan menjelaskan peristiwa ini. Alhamdulillah, direksi setuju. Lalu ada ruangan “yang dikorbankan” untuk menjadi tempat shalat. Maka mulialah orang-orang yang shalat sebab ruangan shalatnya menjadi layak dan nyaman.
Sejak itu, karyawan gedung tersebut banyak yang merasakan bahwa tingkat penyewa kembali meninggi.
Tapi apa yang terjadi? Di pers release-nya direksi dan manajemen, menjelang RUPS, sama sekali tidak disinggung keberhasilan ini adalah sebab memperhatikan urusan mushalla. Kelihatannya sepele; menyediakan orang-orang yang shalat tempat yang layak. Tapi yang sepele ini justru yang diyakini sebagai pembawa kemakmuran dan kejayaan kembali bagi tuh gedung dan manajemennya. Sayang, kita itu ya begitu. Kurang mengakui, atau mungkin kurang berani mengakui bahwa sisi spiritual itu yang menjadikan dunia ada di genggaman. Dipikirnya, urusan spiritual urusan akhirat yang hanya berdimensi akhirat saja. []
BERSAMBUNG
Sumber: The Miracle of Giving/Karya: Ust. Yusuf Mansur/Penerbit: PT. Bestari Buana Murni