KALIAN siap menikah? Atau akan menikah? Di bawah ini ada 8 persiapan yang dilakukan sebelum Anda memutuskan untuk siap menikah.
1 Persiapan mental dan fisik
Persiapan mental dan fisik adalah hal yang utama yang harus disiapkan. Siap mental artinya harus siap dalam mengarungi bahtera rumah tangga, siap menghadapi segala resikonya. Sementara persiapan fisik, Anda dan calon harus siap lahir batin, sehat secara fisik sehingga cukup tangguh dalam membina rumah tangga.
BACA JUGA: 5 Pilar Pernikahan, Muslim Harus Tahu
2 Kemantapan hati
Menikah harus dengan kemantapan hati. Kemantapan di sini dalam hal:
- Kemantapan dengan pasangan.
- Siap menerima kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri pasangan.
- Tidak main-main dalam memilih.
Kemantapan yang seharusnya lebih dipersiapkan bukan hanya paras, namun agama itu yang harus lebih dipentingkan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah SAW bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari, no. 5090 dan Muslim, no. 1466).
Walaupun memilih yang berparas cantik pun boleh. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah pernah berkata, “Memilih wanita yang berparas cantik itu lebih menenangkan hati, mata jadi tidak melirik ke wanita lain, juga semakin menyempurnakan kasih sayang. Oleh karenanya, dalam Islam disyari’atkan memandangi wanita yang ingin dinikahi.” (Al-Mughni, 9:511).
Jadi silakan memilih yang berparas cantik, namun jangan lupakan yang baik agamanya.
3 Kesiapan financial
Meski banyak yang bilang bahwa cinta adalah modal terbesar dalam pernikahan, tapi masalah keuangan merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan. Kita tak bisa menutup mata dengan banyaknya kasus pertengkaran rumah tangga, bahkan hingga menyebabkan perceraian karena kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Dan jika seorang gadis yang ingin nikah ditanyakan memilih laki-laki yang tampan atau mapan, banyak yang akan menjawab memilih mapan. Ada yang memberikan jawaban, “Karena tampan tak bisa dipakai untuk beli beras.”
Sampai-sampai Rasulullah SAW menyarankan yang mau menikah punya kemapuan baa-ah. Apa itu baa-ah? Imam Nawawi rahimahullah menyimpulkan dalam Syarh Shahih Muslim (9:154), baa-ah itu mampu untuk berjimak disertai dengan kemampuan memberi nafkah terlebih dahulu. Itulah yang disebutkan dalam hadits,
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki ba’ah , maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu adalah pengekang syahwatnya yang menggelora.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).
4 Siap menjalani kehidupan yang berbeda
Menikah berarti menjalani kehidupan baru. Karenanya harus siap menghadapi semua hal yang tak terduga. Kehidupan setelah menikah akan jauh berbeda dengan kehidupan saat lajang. Untuk itu menikah harus didasari kepentingan bersama bukan kepentingan pribadi. Jika sebelumnya para jomblo bebas hang out (bergaul) bersama teman-teman, setelah menikah tentu semua harus atas dasar persetujuan suami. Di mana ketika menjadi istri hendaklah para sis menjalankan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan memudahkan masuk ke surga lewat pintu mana saja.
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad, 1:191; Ibnu Hibban, 9:471. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih).
5 Siap menghadapi masa depan yang baru
Menikah berarti siap melangkah menuju masa depan. Bila pernikahan berlangsung baik maka masa depan pun kemungkinan besar akan cerah. Setidaknya pasangan suami-istri bisa bersama-sama membangun masa depan terbaik. Baiknya ada rencana-rencana yang sudah dirancang untuk masa depan, inginnya seperti apa, sampai apa saja target untuk anak-anak kelak.
6 Mencari restu orang tua
Apa jadinya jika menikah tanpa restu orang tua? Pasti sangat tidak nyaman bukan?
Jangan sepelekan restu orang tua ya. Karena dengan restu orang tua pernikahan akan berjalan lancar, langgeng, bahagia serta berkah. Ingat menikah bukan hanya menyatukan dua insan manusia yang saling mencintai tapi juga menyatukan dua keluarga sekaligus.
Yang terpenting, mencari ridha orang tua inilah yang mendatangkan Allah ridha. Sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ashr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keridhaan Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi, no. 1899; Ibnu Hibban, 2:172; Al-Hakim, 4:151-152)
Jadi saat ini untuk persiapan, berusahalah mendapatkan restu orang tua sebelum menikah. Kalau belum direstui, terus melobi dengan cara yang baik dan jangan lupa untuk terus berdoa kepada Allah.
7 Siap dibatasi
Menikah mau tak mau harus siap kehilangan kebebasan yang sebelumnya bisa dinikmati saat gadis. Yang sudah menikah tak bisa lagi seenaknya nongkrong di mall dengan teman-teman tanpa sepengetahuan pasangannya. Istri tak bisa seenaknya jalan keluar tanpa seizin suami.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab: 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 32:281)
Meski terkesan diatur, tapi ini merupakan hal positif, di mana istri akan lebih menghargai keberadaan suami. Bukankah menikah seyogyanya saling menghargai?
8 Hubungan Intim
Tujuan menikah di antaranya adalah untuk mendapatkan tempat yang halal dalam melampiaskan keinginan seksual. Sedangkan kalau dengan jalan pacaran, itu jalan yang haram.
Bahkan Allah memerintahkan untuk mencari keturunan dengan hubungan intim. Sebagaimana tafsiran dari salah satu ayat,
“Maka sekarang campurilah mereka dan raihlah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Salah satu tafsiran dari ayat ini adalah carilah keturunan dari hubungan intim.
Bahkan menaati suami dalam hubungan intim adalah jalan mudah bagi seorang istri untuk meraih pahala.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang (baca: untuk berhubungan intim), lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari, no. 5193 dan Muslim, no. 1436).
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Dan hubungan intim di antara kalian adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa mendatangi istri dengan syahwat (disetubuhi) bisa bernilai pahala?” Ia berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada yang meletakkan syahwat tersebut pada yang haram (berzina) bukankah bernilai dosa? Maka sudah sepantasnya meletakkan syahwat tersebut pada yang halal mendatangkan pahala.” (HR. Muslim, no. 1006).
BACA JUGA: Menikah Itu Menyehatkan, Jadi Tunggu Apalagi?
Jimak (bersetubuh atau hubungan intim) bisa bernilai ibadah jika maksudnya adalah untuk menunaikan hak istri, bergaul baik dengannya, dan melakukan kebajikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Di samping itu, jimak bisa bernilai ibadah bila maksudnya untuk memperoleh keturunan yang sholeh, membentengi diri agar tidak terjerumus dalam zina, agar pasangan tidak memandang hal-hal yang diharamkan, juga agar tidak berpikiran atau bermaksud yang bukan-bukan, atau niatan baik lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 7:83-84). []