DELAPAN dari sembilan fraksi di Senayan menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS menjadi satu-satunya partai yang menolak RUU saat rapat Badan Legislasi DPR bersama pemerintah.
Sedangkan, delapan fraksi yang menyetujui RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, Demokrat, Nasdem, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Apa alasan PKS menolak rancangan tersebut?
Sebelumnya, Badan Legislasi atau Baleg DPR dan pemerintah telah menyepakati RUU DKJ untuk dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II atau rapat paripurna DPR. Pada penyampaian pendapat setiap fraksi di rapat itu, delapan dari sembilan fraksi menyetujui RUU DKJ dibawa ke paripurna. Namun, fraksi PKS menolak RUU DKJ tersebut. Meskipun salah satu partai menolak, tetapi mayoritas anggota Baleg DPR menyetujui pengesahan RUU DKJ.
BACA JUGA: Jabatan Kades Jadi 8 Tahun, Begini Penjelasan PKS
Fraksi PKS menolak karena pembahasan RUU DKJ masih cacat prosedural dan minim partisipasi masyarakat.
“Kami Fraksi PKS dengan memohon kepada Allah SWT dengan mengucapkan bismillah menolak RUU DKJ,” kata anggota Baleg DPR dari Fraksi PKS, Anshory Siregar, pada 18 Maret 2024.
PKS juga memiliki poin-poin penting sebagai dasar penolakan RUU DKJ. Mengacu laman resmi fraksi.pks.id, berikut adalah poin-poin alasan PKS tidak menyepakati RUU DKJ, yaitu:
Penyusunan Terburu-buru
Fraksi PKS berpendapat, penyusunan dan pembahasan RUU DKJ tergesa-gesa yang seharusnya ada lebih dahulu sebelum UU IKN. Kondisi ini menimbulkan banyak permasalahan karena membutuhkan banyak penyesuaian dan masa transisi panjang.
Perlu Dikaji Mendalam tentang Sebutan Jakarta
RUU DKJ perlu dikaji lebih mendalam tentang posisi Jakarta yang bertumpuk dengan berbagai sebutan, seperti Daerah Khusus, kawasan aglomerasi, dan Badan Layanan Bersama. Sebutan ini membuat pengaturan Jakarta menjadi sangat rumit dan khawatir akan dipenuhi berbagai kepentingan.
Minim Keterlibatan Masyarakat
RUU DKJ belum melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna. Padahal, berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2022, penguatan partisipasi masyarakat bermakna dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga syarat, yaitu hak didengarkan pendapat, hak dipertimbangkan pendapat, dan hak mendapatkan penjelasan atas pendapat.
Memaksakan Pembahasan Bermasalah
RUU DKJ lahir dengan memaksakan pembahasan bermasalah secara hukum pembentukan perundang-undangan karena sudah lewat waktu sejak UU IKN diundangkan, pada 15 Februari 2022. Selain itu, RUU DKJ juga mengalami cacat prosedur, termasuk mempertaruhkan substansi pengaturan yang tidak mengutamakan keterlibatan masyarakat.
Perlu ada Kota Otonom
Jika status ibu kota negara pindah ke IKN, seharusnya Jakarta terdiri atas wilayah kota otonom yang semula bersifat administratif. Pemerintahan di wilayah kota otonom membutuhkan pemerintahan daerah kota yang terdiri dari Kepala Daerah (Walikota) dan DPRD Kota (DPRD Tingkat II).
Kepala Daerah Harus Dipilih dalam Pilkada
PKS berpendapat perlu mempertahankan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta melalui Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan hanya untuk satu kali masa jabatan.
BACA JUGA: PKS Tanggapi Pernyataan Gibran soal ‘Pemilu Diulang Sampai Jagoan Menang’
Permasalahan Substansi, terutama Kebudayaan Betawi
Fraksi PKS berpendapat, RUU DKJ banyak permasalahan pengaturan substansi. DKJ merupakan wilayah khusus yang sangat strategis dan direncanakan menjadi mercusuar Indonesia sehingga peran pengawasan DPR dalam setiap bidang menjadi sangat penting, terutama tentang kewenangan khusus bidang kebudayaan Betawi.
Belum ada Aturan Kekhususan Jakarta
Fraksi PKS berpendapat RUU DKJ belum menunjukkan aturan yang berupaya memberikan kekhususan bagi Jakarta, bukan sekadar nama saja. Misalnya, aturan yang mempertahankan dan meningkatkan posisi Jakarta sebagai pusat perekonomian Indonesia dengan penghapusan pajak atau cara lain. []
SUMBER: TEMPO