SISTEM pendidikan Indonesia mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga perguruan tinggi masih tedapat kelengahan sehingga output dari SDM tidak optimal. Membuktikannya, Indonesia masih juga berada dalam kategori kekurangan guru profesional.
Penting kiranya perbaikan dilakukan secara mendasar dari pelaksanaan sistem pendidikan tersebut. Sebab guru tidak selamanya memiliki impact yang besar bagi karakter siswa. Di era milenial seperti sekarang, teknologilah yang sangat mempengaruhi kemandirian siswa serta pembentukan karakter siswa berkualitas unggul. Melakukan perbaikan harus mampu menimbang antara peran guru dan teknologi pada proses KBM di sekolah-sekolah. Namun, lagi lagi siswa lah yang akan menentukan keberhasilan pendidikan tersebut.
Bila dirincikan, semua yang pernah mengenyam bangku sekolah pasti menginginkan kembalinya masa-masa keemasan di jenjang Taman Kanak-Kanak (TK). Sebab secara harfiah, pendidikan di tingkat paling dasar tersebut berjalan sesuai kemauan hati siswa-nya. Tidak ada paksaan dari pihak manapun saat seorang anak menginginkan pengajaran yang diberikan para guru TK secara sukarela. Paling tidak kelemahan di sisi pertama sudah terlihat.
Saat siswa potensial dan tersistematis mengalami peningkatan, pemerintah malah tidak balik merespon. Bagaimana bisa seorang guru yang sukarela mendidik, mengenalkan pada huruf, melatih belajar sambil bermain, mengajari ilmu lewat tarian, nyanyian dan alat peraga hanya menerima bayaran Rp. 300.000-Rp. 500.000 setiap bulannya?
Keluhan itu bisa dirasakan dengan sangat gamblang di lingkungan masyarakat yang berprofesi sebagai guru TK. Paling tidak belum ada kesejahteraan di lini guru TK di mana pun bangunan sekolah TK itu didirikan. Ini sisi pertama yang harus diperbaiki oleh pemerintah.
Mengenai kelayakan hidup lewat gaji. Program-program pemerintah seperti sertifikasi guru masih dinilai terlalu ekstrim. Pasalnya untuk memenuhi persyaratannya terlebih dahulu harus ada masa abdi selama 5 tahun. 5 tahun pertama masih belum bisa mendaftar sebelum pihaknya mendapatkan predikat terbaik di sekolah tempat ia mengajar.
Sedangkan posisi guru TK Indonesia sangat kekurangan tenaga pendidik. Tidak ada lagi pilihan lain untuk terjun mengajar TK bagi para sarjanawan PGSD bahkan SPd sekalipun. Perlu program pendongkrak berupa pemerataan pendapatan bagi para guru TK sejatinya.
Untuk di jenjang Sekolah Dasar (SD) hampir tidak ada masalah. Penjalanan sistem pendidikan yang telah dicananglan dijalankan sesuai dengan prosedur. Bagaimana anak dapat mengenali lingkungan sebagai pengaplikasian dari keilmuannya. Bagaimana anak mulai mampu beradaptasi dengan keadaan di sekitarnya, baik dengan suasana yang mendukung atau malah mengancam, semuanya berjalan sesuai prediksi pemerintah.
Akan tetapi perlu lagi ditingkatkan kualitas belajar dan penanaman minat baca secara komprehensif. Anak Sekolah Dasar rata-rata berumur 7-13 tahun. Di masa tersebut mental dan gangguan psikologi seperti malas, suka membuang waktu dengan pekerjaan yang tidak penting, kecenderungan ingin mendengar dan lain sebagainya semakin lebih mendominasi mereka. Menggalakkan hal tersebut dapat menjadi altenatif jitu untuk mengusir gangguan yang menghalangi minat belajar.
Nah, kemudian naik ke jenjang berikutnya yakni Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sedikit kedodoran. Bagaimana tidak? Pada masa SMP, kenaikan kelas diimbangi dengan pelajaran yang begitu rumit dan menyita waktu untuk berkecimpung di dalamnya. Akan tetapi, siswa cenderung dieksploitir. Maknanya porsi pembagian mata pelajaran dari pilihannya terlalu banyak.
Di Indonesia, pelajaran di SMP begitu terporsir jumlahnya. Mulai dari bahasa Indonesia, Matematika, fisika, biologi dan lain-lain yang kesemuanya harus dipelajari. Hal tersebut yang mengakibatkan otak pada siswa tidak menangkap keseluruhan materi yang disampaikan. Pada dasarnya kemampuan dan volume otak pada siswa juga terbatas. Artinya pembagian dari materi yang harus dipelajari dikira sangat penting. Paling tidak harus mewakili minat para siswa. Pelajaran wajib yang diapadukan dengan peminatan dari para siswa.
Yang kemudian setelah menamatkan bangku SMP, siswa kemudian disuguhkan dengan materi-materi tepat sasaran di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) karena sudah ada basic yang tertempah selama SMP. Pelajaran-pelajaran wajib semisal bahasa Indonesia tak perlu dihilangkan. Tinggal lagi menyesuaikan kebutuhan pasar menjadi sangat penting untuk mencetak siswa yang dapat bersaing secara kompetitif. Misalnya pengenalan manajemen bisnis pada perusahaan, manajemen keuangan secara global dan sebagainya. Sehingga tidak hanya ada pelajaran terbatas seperti IPA atau IPS.
Sistem belajar mengajar harus tepat sasaran. Memberikan keleluasaan terhadap bakat yang diminati oleh siswa sangat penting adanya.
Pelajaran yang harus dipelajari di jenjang SMA ini tidak harus semuanya ditelan bulat-bulat. Tidak semua pelajaran harus memaparkan teori yang panjang. Kategori anak SMA juga masuk dalam fase remaja yang mana usia produktif akan dibarengi dengan kegiatan positif apabila ada lingkungan yang mendukung.
Siswa perlu implikasi praktik dari pelajaran-pelajaran penting seperti keagamaan, bahasa indonesia serta pendidikan pancasila. Perlu praktik-praktik untuk menguatkan karakter saja di sana. Misalnya untuk pelajaran keagamaan dapat dilakukan dengan kegiatan pengajian rutinitas, kegiatan berkelompok yang diikuti dengan kegiatan ceramah-ceramah agama.
Begitu juga dengan yang lainnya. Selebihnya memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih pelajaran yang telah disediakan oleh pihak sekolah. Karena selama ini animo masyarakat banyak memilih jenjang SMK dari pada SMA. Artinya kejuruan memang menjadi sangat penting di jenjang menengah atas tersebut.
Sebagai tonggak terakhir dari proses pengkualitasan pendidikan itu ialah perguruan tinggi. Untuk itu, di perguruan tinggi nanti, siswa tidak lagi kelabakan terhadap pilihan jurusan yang ingin diambil. 70% indikasi mengapa para sarjana muda banyak menganggur adaah karena salah jurusan.
Bisa jadi mulai tamat dari SMA, siswa tidak mengikuti kemauan bakat yang dimiliki, malah mengikuti temannya dengan mayoritas ia akan mendapatkan kebahagiaan saat kuliah nanti. Inilah yang harus dihapuskan dari output SDM tersebut. Paling tidak upaya pendanaan untuk sektor pendidikan, pemerintah tidak sedang main-main. Pemerintah sangat jor-joran untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang semakin lama semakin keropos.
Terakhir, output dari pendidikan berkualitas tidak hanya menjadi guru dan dosen. Melainkan SDM yang mempu bercakap selektif di semua minat dan bakat yang dimiliki. Bahkan tidak menutup kemungkinan bernilai komersil untuk paling tidak mengangkat derajat bangsa Indonesia di kancah internasional. []
Kirim buah pikiran Anda sebagai mahasiswa lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi di luar tanggung jawab redaksi.