Oleh: Dedi Juhari – Purwakarta
DI sebuah tempat makan, seekor kecoa tiba-tiba terbang dari suatu tempat dan menclok di atas kepala seorang wanita.
Wanita itu langsung berteriak ketakutan.
Dengan wajah panik dan suara gemetar, dia mulai melompat, dan kedua tangannya berusaha mati-matian untuk menyingkirkan kecoa.
Reaksinya segera saja menular, dan semua orang di sekitarnya juga ikut panik.
Wanita itu akhirnya berhasil mengenyahkan kecoa itu dengan tangannya, tetapi … binatang tersebut mendarat di wanita lain dekatnya.
Sekarang, giliran wanita lain tersebut yang melanjutkan drama. Panik dan berteriak-teriak.
Melihat itu, pelayan rumah makan segera bergegas. Kecoa menclok ke bajunya. Pelayan itu berdiri tenang dan tegap, menenangkan diri dan mengamati perilaku kecoa di kemejanya. Dengan tenang, ia meraihnya dengan jari-jarinya dan membuangnya keluar dari restoran.
Mari kita pikirkan, apakah kecoa itu memang penyebab kehebohan di rumah makan tersebut?
Jika demikian, lalu mengapa si pelayan tidak terganggu? Dia menanganinya dengan sempurna, tanpa kekacauan apa pun.
Bukan kecoa, tetapi ketidakmampuan orang-orang itu untuk menangani gangguan yang disebabkan oleh kecoa, yang mengganggu para wanita.
Kita haru menyadari bahwa bukanlah teriakan orangtua kita atau bos kita atau istri kita yang mengganggu kita, tetapi ketidakmampuan kita untuk menangani gangguan yang disebabkan oleh teriakan mereka yang mengganggu kita.
Bukan macet di jalan yang mengganggu kita, tetapi ketidakmampuan kita untuk menangani gangguan yang disebabkan oleh kemacetan yang mengganggu kita itu. Toh, ada orang lain yang santai saja menghadapi macet di Pasar Jumat atau di Pasar Rebo misalnya.
Apapun masalahnya, adalah reaksi kita terhadap masalah yang menciptakan kekacauan dalam hidup kita. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.Â